Oleh karena itu, Walhi mengajak semua bergerak mengawal revisi Perda RTRW dan mendesak perlindungan kawasan esensial, demi masa depan Kota Batu. Sebab, jika Kota Batu hancur, Kota Malang dan sepanjang DAS Brantas akan hancur juga.
Karena perubahan hutan dan alih fungsi lahan menjadi industri pariwisata dan pertanian, daerah tangkapan air berkurang signifikan, sehingga ketika terjadi hujan dengan intensitas ekstrem, air meluncur deras, tak ada pepohonan yang mampu mengikat air, akibatnya banjir melanda, bahkan wilayah di bawahnya juga terdampak parah.
Catatan Pakar Kebencanaan Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta Prof Suratman bahwa banjir bandang yang melanda Kota Batu itu menunjukkan ada gangguan ekosistem di wilayah tersebut. Banjir ini sebagai peringatan ekosistem yang terganggu oleh manusia. Gangguan ekosistem akibat alih fungsi lahan oleh manusia menjadi salah satu pemicu terjadinya banjir bandang di kota apel itu.
Secara administratif hutan tersebut berada di wilayah Kota Batu. Namun perencanaan, pengelolaan hingga monitor dan evaluasi (monev)-nya di bawah wewenang Perhutani dan Kementeria Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).
Dampak banjir bandang, tidak hanya menyesakkan dada, tidak hanya menyisakan isak tangis, tapi harta benda lenyap, bahkan tidak jarang juga ada korban nyawa. Ada tujuh orang yang tercatat meninggal dunia dan puluhan rumah rusak.
Selain kerusakan rumah, banjir bandang juga menyebabkan setidaknya 73 kendaraan roda dua dan tujuh kendaraan roda empat rusak, hewan ternak mati sebanyak 107 ekor, dan sepuluh kandang dilaporkan rusak dan puluhan kepala keluarga terpaksa harus mengungsi ke rumah kerabatnya.