REPUBLIKA.CO.ID, PALU -- Badan Kesatuan Bangsa dan Politik (Kesbangpol) Provinsi Sulawesi Tengah (Sulteng) mengungkapkan, potensi konflik di seluruh daerah di Sulteng masih ada. Kepala Kesbangpol Sulteng Fakhruddin Yambas menerangkan, potensi konflik yang menghantui Sulteng meliputi konflik berkaitan dengan politik, sosial, dan budaya.
"Kita senantiasa berhadapan dan pesta demokrasi baik di tingkat provinsi, kita maupun kabupaten. Bahkan, pesta demokrasi 2024 nanti sudah mulai terasa. Ini bisa menimbulkan konflik kalau tidak dikelola dengan baik,"katanya saat memberikan bimbingan pencegahan konflik sosial yang diadakan Korem 132/Tadulako di Kota Palu, Senin (27/9).
Konflik saat pesta demokrasi, lanjutnya, berpeluang terjadi disebabkan oleh kampanye hitam (black campaign) yang dilakukan oknum tim sukses pasangan calon yang maju dalam pemilihan kepala negara, kepala daerah, dan anggota legislatif di tingkat pusat, provinsi, kota hingga kabupaten. "Bukan begitu (black campaign) berdemokrasi. Berdemokrasi adalah melahirkan pemimpin dan perwakilan rakyat yang diharapkan bisa mewujudkan apa yang diamanatkan dalam Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 dan Pancasila," ujarnya.
Kemudian, lanjutnya, potensi konflik antara umat agama, intern umat dalam suatu agama, suku dan ras. Hal itu seperti yang hampir terjadi akibat peristiwa pembantaian oleh kelompok teroris kepada warga di Desa Lembantongoa, Sigi akhir 2020.
Beruntung saat itu para tokoh dari berbagai agama, TNI dan Polri bergerak cepat dengan mengeluarkan pernyataan peristiwa pembantaian tersebut bukan dilatarbelakangi oleh agama yang dianut oleh korban dan kelompok teroris tersebut. Jika lambat sendikit saja, maka oknum-oknum yang tidak bertanggungjawab akan memanfaatkan peristiwa tersebut untuk memicu konflik antar umat beragama di Sulteng.
"Peran semua pihak mengantisipasi terjadinya konflik antar agama akibat peristiwa Lembantongoa perlu diapresiasi. Peristiwa Lembantongoa murni karena kejahatan kemanusiaan," kata dia.