REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Peneliti Pusat Penelitian Politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (P2P LIPI) Wasisto Raharjo Jati mengatakan, terdapat tiga motif serangan buzzer sebagai cyber troops atau pengerahan pasukan dunia maya. Menurutnya, tiga motif ini kemudian yang menjadi alasan buzzer muncul dalam kehidupan demokrasi di Indonesia.
"Kenapa buzzer itu muncul dalam demokrasi kita? Yang pertama jelas satu motifnya personal," ujar Wasisto dalam diskusi politik secara daring, Jumat (10/9).
Dia menjelaskan, motif personal itu timbul dari ketidaksukaan seseorang terhadap orang lain. Ketidaksukaan ini dimanfaatkan buzzer untuk black campaigning atau melakukan kampanye negatif yang menyerang orang lain. Motif kedua adalah ekonomi. Ketika narasi yang digaungkan buzzer viral di media sosial dan mendatangkan banyak akun followers atau pengikut, maka pundi-pundi dalam bentuk tawaran iklan pun menghampiri para buzzer tersebut.
Motif ketiga, politik. "Jadi ketiga motif ini yang menjadikan kenapa sekarang ini buzzer itu menjadi hal yang tidak dapat terelakkan dalam demokrasi kita karena satu itu lebih condong ke arah ekonomi politik," kata Wasisto.
Dia menyampaikan, buzzer dapat dimaknai positif kalau informasi yang ditampilkan tidak partisan dan tidak tendensius. Sementara, buzzer dimaknai negatif apabila yang dilakukannya menyumbang narasi-narasi identitas. Kini, narasi buzzer lebih cenderung mencari sensasi. Terjadi pula pergeseran buzzer yang semula beraksi secara individu menjadi kolektif dan masif.
"Buzzer sekarang ini mengubah paradigma aktivisme siber kita yang dulu cenderung membangun representasi, melawan sensor negara, sekarang ini lebih condong bagaimana kita mendapatkan pengakuan di ruang publik. Dan sekarang yang paling penting adalah cenderung digunakan elite untuk melakukan black campaigning," jelas Wasisto.
Buzzer memiliki peran dan fungsi dalam aktivisme siber. Antara lain membentuk wacana politik; menciptakan isu sosial dan politik, yang biasanya advokatif, konstruktif, destruktif, dan agitatif; menyiapkan counter discourse bilamana terjadi perang siber dengan buzzer lainnya; serta bergerak dalam kelompok kecil bersifat independen dan partisan. Dalam ekpresi diskursus politik, kata Wasisto, wacana yang dilontarkan buzzer biasanya bersifat testing the water, untuk melihat aksi dan reaksi kelas menengah warganet.