Rabu 04 Aug 2021 14:48 WIB

LIPI Paparkan Alasan Parpol Sulit Dipisahkan dari Korupsi

Minimnya transparansi jadi penyebab korupsi lekat dengan parpol.

Rep: Nawir Arsyad Akbar/ Red: Indira Rezkisari
LIPI melihat partai politik atau parpol sulit untuk dipisahkan dari jerat praktik korupsi.
Foto: Antara/Ampelsa
LIPI melihat partai politik atau parpol sulit untuk dipisahkan dari jerat praktik korupsi.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kepala Pusat Penelitian Politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Firman Noor mengatakan, partai politik saat ini sangat sulit dipisahkan atau lepas dari praktik korupsi. Menurut dia, ada tiga alasan yang membuat partai politik dan korupsi seakan berdampingan.

Pertama adalah lemahnya transparansi di dalam partai politik. Firman menjelaskan, partai politik di Indonesia umumnya cenderung terpusat dan demokrasi di internalnya hanya sebatas lip service yang tak diterapkan sepenuhnya.

Baca Juga

"Bahkan ada juga kalau kita lihat dari aturan mainnya, sebetulnya juga tidak terlalu memberikan peluang terjadinya suatu pengelolaan yang betul-betul transparan, yang melibatkan seluruh kader partai," ujar Firman dalam sebuah diskusi daring, Selasa (4/8).

Ia melihat pengendalian partai cenderung bersifat personal dan elitis. Bukan seutuhnya berbasis prosedural yang melahirkan eksklusivisme, dan hal inilah yang membuat adanya celah-celah korupsi.

Hal tersebut kemudian menyebabkan adanya transaksi politik yang kerap dilakukan oleh pihak-pihak yang eksklusif. Implikasinya adalah timbul ruang-ruang yang tak lagi transparan dalam sebuah partai politik.

"Ada praktik-praktik yang seutuhnya tidak bisa dikontrol, yang seutuhnya tidak bisa benar-benar inklusif. Dalam konteks seperti inilah seolah-olah menghidupkan virus dalam ruang gelap," ujar Firman.

Kedua adalah lemahnya kaderisasi. Partai dinilainya kurang berhasil dalam mendisiplikan kadernya untuk berpolitik secara bersih dan bermartabat, terutama kepada beberapa orang yang dianggap memiliki pengaruh.

Lemahnya kaderisasi ini ujungnya akan melahirkan sikap pragmatis, oportunis, kemudian mengembangkan hipokrit di dalam partai. Nantinya, proses pembuatan kebijakan hingga kontestasi pemilihan umum (pemilu) akan sangat ringkih dari jeratan korupsi.

"Partai tak berdaya menyetop manuver kader-kadernya di level bawah, khususnya ketika terjadi kontestasi politik. Karena sebetulnya mungkin partai tidak mengarahkan seperti itu, tapi tidak berhasil mendisiplinkan kader untuk melakukan hal yang merugikan," ujar Firman.

Terakhir adalah lemahnya keuangan partai. Hal inilah yang membuat banyak partai pada akhirnya bergabung kepada sumber-sumber alternatif yang belum tentu sepenuhnya aman dan legal.

"Ini memicu kader untuk mengumpulkan dana dari berbagai sumber, meski kadang di antaranya melanggar hukum," ujar Firman.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement