Senin 02 Jun 2025 08:13 WIB

Jabatan Ketum dan Sekjen Parpol Perlu Dibatasi Satu Periode

Pergantian ketum dan sekjen hindari terjadinya kepemilikan partai oleh satu kelompok.

Bedah buku Pergerakan Menuju Pembaharuan Nusantara pada di Gedung UC Kampus UGM Yogyakarta, Ahad (1/6/2025), oleh penulis Sri Harjono.
Foto: Dok Republika
Bedah buku Pergerakan Menuju Pembaharuan Nusantara pada di Gedung UC Kampus UGM Yogyakarta, Ahad (1/6/2025), oleh penulis Sri Harjono.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Negara dinilai perlu melakukan pembatasan masa jabatan ketua umum dan sekretaris jenderal partai politik menjadi hanya satu periode atau lima tahun. Penulis buku “Pergerakan Menuju Pembaharuan Nusantara” Sri Harjono menilai upaya tersebut untuk menghindari terjadinya kepemilikan partai politik oleh satu orang atau oleh keluarga.

Di era reformasi sejak tahun 1999 hingga saat ini ternyata justru melahirkan entitas partai politik yang cenderung dikuasai oleh keluarga. Hal tersebut dianggap membahayakan masa depan negara bangsa Indonesia.

Baca Juga

Pernyataan Sri Harjono terlontar saat bedah buku “Pergerakan Menuju Pembaharuan Nusantara” pada di Gedung UC Kampus UGM Yogyakarta, Ahad (1/6/2025). Hadir pula sebagai pembahas bedah buku tersebut aktivis perempuan Wasingatu Zakiyah dan Prof Agus Supriyanto.

Harjono mengutarakan, sistem kepartaian di Indonesia dalam praktiknya telah menjauh dari prinsip-prinsip negara demokrasi. Alasannya karena partai politik telah berubah menjadi semacam aset pribadi bagi ketua umum partai politik untuk mendapatkan jatah kekuasaan dalam pengelolaan negara baik di eksekutif, legislatif maupun yudikatif.

Karena itu, lanjut dia, ketika seseorang terjun ke politik praktis, maka jalan yang teraman adalah memberikan kesetiaan total kepada ketua umum partai politik agar mendapat kepercayaan untuk ditempatkan di satu jabatan tertentu. Ketua umum partai politik pun akan memilih orang-orang yang loyal kepada dirinya untuk menjaga kelangsungan kekuasaannya.

“Akhirnya tidak ada meritokrasi di partai politik. Politikus yang ditunjuk menduduki satu jabatan publik pun seperti menjadi menteri, akhirnya juga tidak akan dapat menjalankan meritokrasi di jajaran birokrasinya,” papar Harjono.

Dari situlah, kata dia, praktik korupsi pengelolaan uang negara terjadi di semua kelembagaan negara dari tingkat pusat maupun daerah, di mana alokasi uang rakyat yaitu APBN dan APBD tidak benar-benar diprioritaskan untuk rakyat karena penggunaan anggaran tidak efektif.

Menurut Harjono, kecenderungan tersebut harus diluruskan agar keberadaan partai politik menjadi produktif bagi pembaharuan negara Indonesia ke depan dan tidak menjadi penyebab keterpurukan bangsa di masa yang akan datang.

“Masa jabatan ketua umum partai politik, sekjen maupun ketua di tingkat provinsi dan kabupaten/kota perlu dibatasi hanya satu periode. Hal ini dapat menghindari terjadinya kepemilikan partai politik oleh satu orang atau keluarga,” tegasnya.

Harjono menambahkan usia negara kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang baru 79 tahun merupakan usia yang masih sangat muda sehingga membutuhkan pembaharuan terus-menerus dari upaya pembengkokan tujuan bernegara seperti tertuang dalam Pembukaan UUD 1945. Salah satu pelurusan tersebut adalah pembaharuan sistem partai politiknya.

Terlebih partai politik sudah mendapatkan bantuan keuangan dari negara yang mana bantuan tersebut diberikan kepada partai politik yang memiliki kursi di DPR atau DPRD. Bantuan keuangan tersebut 60 persen digunakan untuk pendidikan politik dan sisanya untuk biaya administrasi, sewa kantor, gaji staf dan kegiatan rapat internal.

“Bantuan keuangan partai politik ini tujuannya bagus, namun dengan sistem partai politik yang ada saat ini maka seperti memberikan pupuk bagi berlangsungnya partai politik yang dikuasai oleh personal dan keluarga,” kata Harjono.

Hal lain yang sangat perlu dilakukan pembaharuan adalah penegakkan hukum. Aparat penegak hukum (APH) baik Kepolisian, Kejaksaan dan Kehakiman agar ditingkatkan profesionalisme dalam penegakkan hukum. Di sisi lain, fungsi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) difokuskan pada pengawasan pada APH Kepolisian, Kejaksaan dan Kehakiman agar para APH tersebut juga mendapatkan tindakan hukum apabila melanggar hukum khususnya korupsi.

“Sering kita lihat dalam prakteknya selama ini, pelaksanaan penegakkan hukum tumpang tindih antara KPK, Kepolisian dan Kejaksaan. Lebih baik KPK difokuskan pada peneggak hukum terhadap APH yang melakukan pelanggaran hukum,” ujarnya.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement

Rekomendasi

Advertisement