REPUBLIKA.CO.ID, BANDUNG -- Pakar Hukum Tata Negara Asep Warlan turut menanggapi wacana amendemen konstitusi yang ramai bergulir akhir-akhir ini. Menurut dia, ada tiga alasan mengapa amendemen Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 tidak perlu dilakukan.
Alasan pertama adalah tidak ada urgensi atau kondisi darurat yang mengharuskan UUD 1945 diamendemen. “Apa urgensinya memang belum ada urgensi yang sangat tinggi. Kan ada derajat normal, ada derajat tinggi, ada derajat mendesak. Bahkan ujung-ujungnya ada dalam keadaan darurat. Kalau darurat, tidaklah. Mendesak pun memang dipertanyakan. Itu juga dipertanyakan orang apa sih urgensinya kita harus mengubah undang-undang dasar,” ujar Asep kepada wartawan, Jumat (20/8).
Asep mengatakan, pembahasan amendemen UUD 1945 jika dilakukan dalam waktu dekat ini secara pemilihan waktu sangat tidak tepat. Menurutnya, urgensi saat ini yang harus diselesaikan adalah bagaimana mengatasi kondisi ekonomi dan kesehatan yang tengah terpuruk akibat pandemi Covid-19.
“Jadi, hemat saya dari substansi memang kita masih bisa perdebatkan perlunya ada GBHN, secara timing atau waktu tidak pas. Kenapa tidak pas Karena urgensi sekarang ini adalah bagaimana mengatasi ekonomi yang sedang terpuruk," katanya.
Walaupun, kata dia, ada 7 persen masyarakat yang bilang itu hanya sekedar angka. Namun faktanya, masyarakat sekarang sedang berat. "Yang kedua, kita sedang menangani covid ini. Kalau kita bicara covid berarti memerlukan konsentrasi dari semua lembaga lembaga negara, agar kita lepas merdeka dari covid ini,” kata Asep.
Alasan kedua, menurut Asep, tidak ada jaminan untuk tidak akan melebar dan meluas kemana-mana. Asep menilai, pembahasan amendemen UUD 1945 ini bisa menjadi pintu masuk wacana tentang masa jabatan presiden menjadi tiga periode seperti yang sudah santer di publik saat ini.
“Jangan-jangan ini pintu masuk mereka untuk nanti melebar juga ke sana. kan tidak ada jaminan kita makan bersama hari ini besok jadi lawan dalam politik mah. Jadi hari ini mengatakan bahwa ini yang diubah itu TAP MPR, besok lusa di MPR berubah sekalian saja dengan masa jabatan presiden jadi 3 periode, bisa jadi melebar,” paparnya.
Kemudian alasan ketiga, adalah bisa melemahkan sistem presidensial. Wacana pembahasan amendemen UUD 1945 yang memasukkan Pokok-Pokok Haluan Negara (PPHN) dinilai akan melemahkan posisi presiden karena adanya haluan negara yang ditetapkan di pundak presiden tapi dikontrol ketat oleh parlemen (MPR, DPR, dan DPD).
“Kalau dia masih tidak berubah strukturnya, bisa menjadi melemahkan presidensial. Hal ini bisa melemahkan sisi presidensial atau paling tidak akan mengubah kriteria karateristik presidensial yang kita anut dalam Undang-Undang Dasar,” katanya.
Terkait pembahasan PPHN, Asep menyarankan, apabila Ketua MPR bersikeras ingin memasukan haluan negara sebaiknya tetap menggunakan UU No 17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) Tahun 2005-2025. Menurutnya, jika UU tersebut masih memiliki kekurangan, sebaiknya ubah saja UU tersebut dibanding harus mengamendemen UUD 1945.
“Ada konsekuensi, ketika dulu ada GBHN itu kan Presiden sebagai mandataris, maka letaknya posisi struktur ketatanegaraannya MPR paling atas lembaga tertinggi. Nah itu sekarang dia membuat PPHN tapi yang sederajat dengan pemerintah," katanya.
Walaupun, kata dia, ini sebenarnya multifungsi, tapi orang melihat akan dipersoalkan rujukan hukumnya ketika dia membuat PPHN itu yang dilaksanakan oleh Presiden. "Apa bedanya dengan undang-undang kalau begitu?” katanya.
Menurutnya, sebaiknya MPR memang menyiapkan semuanya dulu. "Jadi jangan sekarang, konsep-konsepnya substansinya seperti, apa mau dibawa kemana negara ini kalau GBHN, nanti misalnya pada saat Pemilu berikutnya diserahkan kepada MPR yang akan datang mudah-mudahan suasananya lebih tenang lebih kondusif. Jangan sekarang,” kata Asep.