Kamis 15 Jul 2021 17:25 WIB

Gaya Komunikasi Luhut Dikritik, Pemilihan Diksi Minim Empati

Gaya komunikasi Luhut dinilai minim empati dan tidak tepat di tengah krisis pandemi.

Luhut Binsar Pandjaitan
Foto: Antara/Hafidz Mubarak A
Luhut Binsar Pandjaitan

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Zainur Mahsir Ramadhan

JAKARTA -- Gaya komunikasi Menko Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan dikritik para pakar komunikasi dari Universitas Airlangga (Unair) dan Universitas Indonesia (UI). Pemilihan diksi dan gaya komunikasi Luhut selaku Koordinator PPKM Darurat dinilai minim empati dan tidak tepat di tengah situasi krisis pandemi.

Pada Senin (12/7), Luhut menyatakan bahwa pandemi di Indonesia masih terkendali. Dia menantang siapa pun yang menuding pemerintah tak bisa mengendalikan Covid-19 untuk datang menemuinya. "Jadi kalau ada yang berbicara bahwa tidak terkendali keadannya, sangat-sangat terkendali. Jadi yang bicara tidak terkendali itu bisa datang ke saya nanti saya tunjukin ke mukanya bahwa kita terkendali," ujar Luhut.

Pakar komunikasi dari Unair, Suko Widodo, menilai, nuansa militer masih mewarnai gaya komunikasi Luhut. Padahal, menurut Suko, gaya komunikasi publik seperti itu sangat tidak cocok dalam situasi pandemi seperti saat ini, yang membutuhkan kesabaran dan empati terhadap kondisi masyarakat.

"Gaya instruktif tidak tepat untuk publik. (Gaya komunikasi Luhut) hanya cocok untuk organisasi yang berstruktur," kata dia kepada Republika.co.id, Kamis (15/7).

Dia menambahkan, pemerintah memang harus memiliki sikap tegas. Namun, tetap dengan cara yang sabar dan berempati kepada situasi masyarakat. Suko melihat, memang gaya komunikasi Luhut dalam menangani pandemi Covid-19 kerap menyangkal dan cenderung menantang. Padahal, dalam situasi kritis seperti pandemi ini diperlukan komunikasi yang meneduhkan.

"Komunikasi publik itu harus akurat. Karena publik ini beragam, maka mesti dipahami psikologi massa," jelas dia.

Dia mengatakan, gaya komunikasi membimbing yang dilakukan pemerintah nantinya, bisa mengarahkan publik pada keyakinan yang sama. Alih-alih dari pemahaman yang kini selalu bersinggungan. "Jadi hindari diksi yang justru menentang publik," tutur Suko.

Dia melanjutkan, jika ke depannya masih ada beda pemahaman, maka Luhut bisa menyampaikan pesan dengan empati. Hal itu dinilainya sangat penting, apalagi di tengah krisis dan upaya membangun kesadaran publik.

Dia mengingatkan, jika pemerintah maupun Luhut masih memiliki gaya komunikasi seperti itu, dampaknya bisa sangat merugikan. Sebab, kondisi masyarakat dinilainya masih dalam keadaan bimbang.

"Pemerintah butuh dukungan publik, sehingga harus menciptakan komunikasi yang meneduhkan," ujar Suko.

Hal yang sama disampaikan guru besar komunikasi dari Universitas Indonesia (UI) Ibnu Hamad. Menurut dia, dalam situasi krisis seperti ini, pemerintah harus mengedepankan komunikasi krisis. "Komunikasi krisis dicirikan oleh penyampaian pesan dan atau informasi penanganan krisis," ujar dia.

Dia melanjutkan, pesan atau informasi krisis itu, bisa mencakup hal yang sedang dilakukan pemerintah. Termasuk, apa saja yang sudah dicapai selama menangani krisis.

"Pada situasi krisis ini masyarakat pada bingung, kadang jengkel dan marah, maka pihak yang menangani krisis itu justru harus tenang dan memberikan solusi," katanya.

Ibnu melihat gaya komunikasi Luhut selama ini yang cenderung menyangkal dan menantang terkait pandemi. Senada dengan Suko Widodo, Ibnu mengingatkan, jika komunikasi pertahanan yang berujung emosi terus dikedepankan, pemerintah akan kehilangan kepercayaan publik menyoal penanganan krisis.

"Karena itu, gaya komunikasi yang sifatnya defensif apalagi menyalahkan pihak lain mesti diubah menjadi gaya mendengarkan, menganalisis, dan memberikan jawaban solusi," katanya.

Dia mencontohkan, keluhan dalam penanganan krisis pandemi selalu muncul. Salah satu contoh konkret dampaknya, lanjut Ibnu, adalah menyoal pembubaran kerumunan yang selalu dikaitkan dengan perniagaan. "Solusinya saat kerumunan dilarang, jual beli bisa diarahkan supaya take away," ujar dia.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement