Rabu 24 Mar 2021 23:33 WIB

Pakar: Kisruh Demokrat Bukan Masalah Internal Partai Belaka

Pakar PSHK memberikan lima catatan terkait kisruh Partai Demokrat.

Rep: Mimi Kartika/ Red: Bayu Hermawan
Pakar Hukum Tata Negara Bivitri Susanti
Foto: Republika/Rakhmawaty La'lang
Pakar Hukum Tata Negara Bivitri Susanti

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pendiri Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) Bivitri Susanti mengatakan, kisruh yang terjadi di Partai Demokrat bukan masalah internal belaka. Setidaknya dari persoalan tersebut muncul isu pengambilalihan partai oleh pihak luar dan terdapat benturan kepentingan antara ketua partai hasil "Kongres Luar Biasa" (KLB) Partai Demokrat dan pemerintah.

"Karena kita semua saya kira sudah sering membahas juga, ini bukan masalah partai Demokrat," ujar Bivitri dalam diskusi daring, Rabu (24/3).

Baca Juga

Ia melanjutkan, setiap pihak boleh tidak setuju dengan fakta bahwa Partai Demokrat memang dikuasai keluarga. Akan tetapi, dinasti dalam tubuh Demokrat tidak menjadi justifikasi bahwa partai tersebut harus diintervensi dengan cara seperti ini.

Ada lima catatan yang menurut Bivitri berkaitan dengan terjadinya kisruh Partai Demokrat. Pertama, tidak ada kekuatan penyeimbang dalam demokrasi, sehingga kekuasaan berjalan tanpa kontrol.

"Dan ingat kita ada masalah presidensialisme multipartai. Yang membuat memang ada kecenderungan mayoritas mendorong presidensialisme multipartai," katanya.

Kedua, kisruh Partai Demokrat bukan permasalahan partai politik yang pertama, sebelumnya ada kisruh PKB pada 2008, Golkar dan PPP pada 2014, Hanura pada 2017, dan Berkarya pada 2018. Rentetan peristiwa ini kemudian menimbulkan pertanyaan besar mengenai kerangka politik dan hukum mengenai partai politik serta kepentingan pemerintah.

Apalagi, pada catatan ketiga, profesionalisme pemerintah tercoreng karena ada benturan kepentingan pemerintah dengan ketua hasil "KLB" Partai Demokrat di Sumatra Utara. Menurut Bivitri, catatan kedua dan ketiga bisa diatasi dengan menghentikan konflik kepentingan, caranya dengan memberhentikan ketua hasil "KLB" dari pemerintahan.

Keempat, fokus kerja DPR dan pemerintah terpecah untuk hal-hal yang tidak berdampak langsung pada kepentingan rakyat. Kelima, membuka wacana tentang pentingnya pengaturan kembali kerangka hukum untuk partai politik yang mampu mendorong partai politik yang lebih demokratis.

"Melalui apa, misalnya perubahan Undang-Undang Partai Politik dan sistem pemilu yang lebih mendorong adanya kaderisasi. Tidak hanya berorientasi pada perolehan kursi," tutur Bivitri.

Ia mengatakan, hal ini ada kaitannya antara sistem pemilu dan dampaknya pada orientasi partai untuk mengejar kekuasaan. Salah satunya, adanya ketentuan ambang batas pencalonan presiden yang mendorong negosiasi elite yang terlalu besar daripada partisipasi politik.

Bivitri menilai, demokrasi perlu dibentuk melalui desain konstitusional termasuk peraturan di bawahnya, seperti Undang-Undang. "Karena kalau dibiarkan seperti pasar bebas, nah ini salah satunya, apa yang terjadi sekarang," ujarnya.

Sebelumnya, Kepala Staf Kepresidenan Moeldok terpilih menjadi Ketua Umum Partai Demokrat versi KLB di Deli Serdang, Sumatra Utara. Partai Demokrat yang diketuai Moledoko ini telah menyerahkan berkas dan dokumen hasil KLB Deli Serdang kepada Kemenkumham pada Senin (15/3).

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement