REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pakar Hukum Pidana, Suparji Ahmad menanggapi pelaporan terhadap Novel Baswedan. Sebagaimana diketahui, Novel dipolisikan dengan tuduhan telah melakukan provokasi dan hoaks setelah mengkritik kepolisian atas meninggalnya Ustaz Maaher At-Thuwailibi.
Suparji mengatakan cuitan Novel merupakan pendapat, bukan bentuk tindak pidana provokasi apalagi hoaks. Unsur hasutan dan provakasi tidak terpenuhi dari cuitan tersebut.
"Cuitan itu lebih kepada pandangan dan pendapat atas suatu peristiwa, yaitu terkait wafatnya Maaher At-Thualibi," kata Suparji melalui pesan tertulis yang diterima Republika.co.id, Sabtu (13/2)
Suparji meminta kepada masyarakat agar selektif dalam membuat laporan ke polisi. Jangan sampai setiap pendapat yang berseberangan selalu dibawa ke polisi. Sebab, perbedaan pandangan tidak bisa dihindari dalam demokrasi.
Akademisi Universitas Al-Azhar Indonesia ini menegaskan bahwa kritik, pandangan dan pendapat merupakan keniscayaan dalam demokrasi. Maka pendapat tidak dapat dikonstruksikan atau ditransformasikan menjadi hasutan atau penyebaran berita bohong.
"Selain itu juga penyelesaian melalui mekanisme hukum pidana, merupakan ultimum remidium alias upaya pamungkas," ujarnya.
Suparji menekankan bahwa polisi dalam menanggapi laporan masyarakat perlu mengedepankan restorative justice dan mediasi penal. Konsep presisi hendaknya dilaksanakan secara konsisten.
"Antara lain dengan membuat hukum yang prediktif, responsinbilitas, transparan dan berkeadilan. Jadi laporan ini menurut saya, direspon dengan lebih persuasif," ujarnya.
Seperti diketahui, Novel dilaporkan oleh Dewan Pimpinan Pusat Pemuda Pelajar dan Mahasiswa Mitra Kamtibmas (DPP PPMK) atas dugaan ujaran provokasi dan hoaks di media sosial. Laporan itu terkait cuitan Novel di Twitter yang mengomentari soal kabar meninggalnya Soni Eranata atau Ustaz Maaher di Rutan Bareskrim Polri pada Senin (8/2) malam.