Senin 08 Feb 2021 12:01 WIB

Qodari: Ada Upaya Upnormalisasi Pilkada

Direktur Indobarometer menilai Pilkada serentak 2024 sudah tepat sesuai aturan.

Rep: Rizky Suryarandika/ Red: Bayu Hermawan
Direktur Eksekutif Indo Barometer M Qodari
Foto: Republika/Arif Satrio Nugroho
Direktur Eksekutif Indo Barometer M Qodari

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Direktur Eksekutif Indobarometer, Muhammad Qodari menanggapi wacana perubahan Pilkada serentak 2024 ke 2022 dan 2023 dalam Rancangan Undang-Undang (RUU) Pemilu yang tengah dibahas di DPR. Qodari menganggap wacana itu sebagai upnormalisasi atau sesuatu yang di luar kenormalan.

Qodari menjelaskan Pilkada serentak 2024 sebenarnya sudah tepat sesuai aturan kepemiluan yang sudah ditetapkan. Tercatat pada awal Pilkada langsung yang digelar di 2005 tidak ada keserentakan. Kemudian terjadi perubahan mengatur Pilkada semi serentak sejak 2013 hingga 2020.

Baca Juga

"Masing-masing wilayah punya kapan berakhirnya (masa kepemimpinan kepala daerah). Maka dibuat jembatan bernama Pilkada semi serentak ada 4 kali sampai 2020 menuju Pilkada serentak penuh November 2024," kata Qodari dalam keterangannya pada Republika, Senin (8/2).

Qodari mengkritisi jika masih ada sebagian partai politik yang bersikukuh agar Pilkada serentak diadakan pada 2022 dan 2023.

"Analisanya jadi Pilkada rasa Pilpres yang mana bukan normalisasi tapi upnormalisasi. Karena yang saya jelaskan sudah normal. Ketika kembali ke 2022,2023 itu namanya upnormalisasi," ujar Qodari.

Qodari mengingatkan bahwa wacana Pilkada serentak berasal dari ide para politisi itu sendiri. Mereka merasa kewalahan untuk mengurus Pilkada yang berlangsung berkali-kali dalam setahun.

"Karena tiap hari urus Pilkada, parpol keberatan karena habis waktu dan energi, tidak bisa kerja yang lain. Maka lahir pemikiran Pilkada serentak," ujar Qodari.

Qodari juga menyinggung Pilkada serentak 2024 bersaman Pilpres dimaksudkan agar pemerintah pusat dan pemerintah daerah punya peta jalan yang sama dalam pembangunan.

"Kenapa ingin (Pilkada serentak) 2024? karena terjadi sinkronisasi pembangunan pusat, daerah dari level provinsi hingga Kabupaten-Kota," ucap Qodari.

Sebelumnya, mayoritas fraksi di DPR menolak revisi Undang-Undang (UU) Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. Dengan begitu maka Pilkada serentak 2022 dan 2023 tetap dilaksanakan pada 2024 sesuai dengan UU Nomor 10 tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota.

Tercatat, fraksi-fraksi yang awalnya mendukung revisi UU Pemilu adalah PKS, Partai Demokra, Partai Nasdem, dan Partai Golkar. Belakangan, Partai Golkar dan Partai Nasdem akhirnya sepakat menolak revisi UU Pemilu.

Di sisi lain, hasil survei Index Politica mengungkapkan mayoritas masyarakat menolak Pilkada dilakukan serentak dengan pemilihan legislatif dan presiden pada tahun 2024. Dari 1.610 responden, 66,8 persen di antaranya menyatakan tidak setuju. Bahkan, 13,4 persen responden menyatakan sangat tidak setuju. 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement