Jumat 15 Jan 2021 18:36 WIB

Kasus Tewasnya Laskar FPI, Pelanggaran HAM Berat atau Bukan?

Komnas HAM menyatakan, kasus tewasnya laskar FPI bukan pelanggaran HAM berat.

Anggota tim penyidik Bareskrim Polri memperagakan adegan saat rekonstruksi kasus penembakan enam anggota laskar Front Pembela Islam (FPI) di Karawang, Jawa Barat, Senin (14/12/2020) dini hari. Rekonstruksi tersebut memperagakan 58 adegan kasus penembakan enam anggota laskar FPI di tol Jakarta - Cikampek KM 50 pada Senin (7/12/2020) di empat titik kejadian perkara.
Foto: ANTARA/M Ibnu Chazar
Anggota tim penyidik Bareskrim Polri memperagakan adegan saat rekonstruksi kasus penembakan enam anggota laskar Front Pembela Islam (FPI) di Karawang, Jawa Barat, Senin (14/12/2020) dini hari. Rekonstruksi tersebut memperagakan 58 adegan kasus penembakan enam anggota laskar FPI di tol Jakarta - Cikampek KM 50 pada Senin (7/12/2020) di empat titik kejadian perkara.

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Bambang Noroyono, Ronggo Astungkoro

Baca Juga

Tim advokasi keluarga korban tragedi Tol Japek Km 50, pada hari ini menilai, peristiwa penembakan enam anggota laskar Front Pembela Islam (FPI) dapat dikategorikan sebagai pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat. Penilaian ini menyusul pernyataan Ketua Komnas HAM Ahmad Taufan Damanik, kemarin.

Menurut tim advokasi tersebut, laporan dan hasil investigasi Komnas HAM, seharusnya tak mengabaikan fakta-fakta dari rentetan dan rangkaian peristiwa sebelum malam nahas, Senin (7/12) itu.

“Secara substansial, dengan mata telanjang, unsur pelanggaran HAM berat atas peristiwa pembunuhan enam orang penduduk sipil yang terjadi pada 7 Desember 2020 yang lalu, sangat mudah untuk ditemukan,” begitu kata anggota tim advokasi, Hariadi Nasution, dalam rilis resmi yang diterima, Jumat (15/1).

Menurut dia, jika menjadikan unsur sistematis, dan meluas sebagai tolak ukur, tim advokasi menemukan 14 rentetan peristiwa yang dapat menyimpulkan adanya pelanggaran HAM berat, dalam peristiwa yang menewaskan para pengawal Imam Besar FPI Habib Rizieq Shihab itu.

Pertama, menurut dia, adanya dugaan operasi terselubung yang dilakukan otoritas resmi dengan menargetkan Habib Rizieq.

Operasi tersebut, juga dengan melakukan penggalangan opini dari tokoh-tokoh yang menolak eksistensi FPI, dan peran Habib Rizieq. Operasi tersebut, dikatakan Hariadi, juga dengan respons resmi otoritas resmi yang masif mengkampanyekan penolakan terhadap FPI dan Habib Rizieq.

Terjadi juga operasi kriminalisasi dan tokoh-tokoh pendukung Habib Rizieq. Bahkan kata Hariadi, operasi untuk mengkriminalisasi tersebut, berlangsung dengan adanya aksi pengintaian, dan pembuntutan aktivitas Habib Rizieq.

“Operasi survailance (pengintaian dan pembuntutan) terhadap Habib Rizieq itu, yang berujung pada pembunuhan terhadap enam pengawal Habib Rizieq,” kata Hariadi.

Menurut Hariadi, dalam laporan hasil investigasi Komnas HAM, juga diakui adanya tim di luar kepolisian Polda Metro Jaya, namun terlibat dalam aksi pengintaian, dan pembuntutan yang berujung maut di tol Japek Km 50. Terkait itu, Komnas HAM, dikatakan Hariadi, juga mengakui adanya kendaraan kepolisian, yakni Land Cruiser yang sampai hari ini belum teridentifikasi, namun diakui kendaraan mewah tersebut, sebagai mobil kepolisian yang terlibat dalam peristiwa tol Japek Km 50.

Dalam investigasi Komnas HAM, dikatakan Hariadi, juga menyebutkan adanya bentuk penghilangan barang-barang bukti dilokasi kejadian, sampai dengan penghapusan rekaman CCTV. Termasuk, upaya paksa yang dilakukan para eksekutor terhadap masyarakat di lokasi kejadian, yang menjadi saksi-saksi malam pembantaian.

Operasi resmi yang menjadikan Habib Rizieq sebagai target tersebut, juga masih dilakukan dengan aksi sepihak otorias negara yang melakukan pemblokiran, dan pembekuan FPI beserta sumber keuangannya.

“Keseluruhan hal tersebut, seharusnya menjadi pintu masuk bagi Komnas HAM untuk melakukan investigasi yang lebih dalam untuk menemukan adanya pelanggaran HAM berat dalam peristiwa tersebut,” kata Hariadi.

Bukti lain adanya praktik pelanggaran HAM dalam peristiwa tersebut, menurut Hariadi semakin terang ketika kepala otoritas resmi mengakui peristiwa tol Japek Km 50, sebagai operasi kepolisian.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement