REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Mantan Kepala Sub Bagian Pemantauan dan Evaluasi II Biro Perencanaan Jaksa Agung Muda Pembinaan di Kejaksaan Agung, Pinangki Sirna Malasari dituntut 4 tahun penjara serta denda sebesar Rp 500 juta subsider 6 bulan kurungan oleh Jaksa Penuntut Umum. Tuntutan itu terkait perkara suap, pencucian uang, dan pemufakatan jahat.
Menanggapi tuntutan tersebut, Indonesia Corruption Watch (ICW) berpandangan, semestinya tuntutan yang layak kepada Pinangki adalah hukuman pemidanaan maksimal. "ICW berpandangan semestinya, tuntutan yang layak kepada Pinangki adalah hukuman pemidanaan maksimal yakni 20 tahun penjara," kata Peneliti ICW , Kurnia Ramadhana kepada Republika, Selasa (12/1).
Menurut ICW, tuntutan 4 tahun penjara untuk tiga dakwaan yang menjerat Pinangki sangatlah ringan. Terlebih, Pinangki diketahui didakwa menerima suap dari Djoko Tjandra, melakukan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU), dan pemufakatan jahat dengan berencana menyuap mantan Ketua MA Hatta Ali dan Jaksa Agung ST Burhanuddin.
"Tuntutan yang dibacakan oleh jaksa terhadap Pinangki sangat ringan, tidak objektif, dan melukai rasa keadilan, " ujarnya.
Untuk itu, ICW mendesak agar Majelis Hakim dapat mengabaikan tuntutan Jaksa lalu menjatuhkan hukuman berat terhadap Pinangki Sirna Malasari. "Selain itu, putusan hakim nantinya juga akan menggambarkan sejauh mana institusi kekuasaan kehakiman berpihak pada pemberantasan korupsi," tegas Kurnia.
Dalam menjatuhkan tuntutan Jaksa memiliki beberapa pertimbangan. Sayangnya, untuk hal yang memberatkan, Jaksa hanya mempertimbangkan status Pinangki sebagai aparat penegak hukum yang tak mendukung program pemerintah dalam rangka memberantas korupsi, kolusi, dan nepotisme.
Sebelumnya, dalam pemeriksaan terdakwa pada Rabu (6/1), Pinangki mengaku, sangat menyesali perbuatannya. Ia juga memohon agar penuntut umum berbelas kasihan kepada dirinya.