REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Indonesia Corruption Watch (ICW) menilai, wacana opsi pemilihan kepala daerah (pilkada) melalui DPRD karena tingginya kasus korupsi, hanya akan memindahkan persoalan, jika tidak diikuti pembenahan komprehensif. Sebab, ICW mencatat, setidaknya 586 anggota DPR/DPRD menjadi tersangka korupsi dalam kurun waktu sembilan tahun terakhir.
"Kami kumpulkan dari 2010 sampai 2019, sedikitnya ada 586 anggota DPR dan anggota DPRD itu ditetapkan sebagai tersangka korupsi," ujar Peneliti ICW, Almas Sjafrina dalam konferensi nasional daring, Kamis (15/10).
Dikatakan Almas, jumlah anggota legislatif yang terlibat dalam kasus korupsi menjadi lebih tinggi pada tahun politik. Misalnya, pada 2018 lalu, ada 127 anggota DPR/DPRD tersangkut kasus korupsi.
Menurut dia, ketika ada wacana pilkada tak langsung, problem di DPRD juga harus dipertimbangkan, apakah DPRD menjadi lembaga yang bersih dari korupsi atau tidak. Jika tidak, pilkada oleh DPRD hanya memindahkan persoalan, seperti jual beli suara antara calon kepala daerah dan pemilih, menjadi jual beli suara antara anggota DPRD dan calon kepala daerah.
Almas juga mengingatkan, fenomena korupsi di daerah pun banyak melibatkan aktor. Tidak hanya kepala daerah dan pejabat pemerintah setempat, melainkan melibatkan anggota DPRD, seperti dalam pembahasan anggaran, laporan pertanggungjawaban anggaran, serta perubahan anggaran.
"Jadi fenomena korupsi daerah kita harus melihatnya dari kacamata yang luas, tidak hanya problem di kepala daerah tetapi juga di DPRD," kata Almas.
Dia menambahkan, ICW mengumpulkan data berdasarkan putusan pengadilan, informasi yang disampaikan aparat penegak hukum, dan pemberitaan media, sedikitnya 294 kepala daerah yang ditetapkan sebagai tersangka korupsi sejak 2010 sampai 2019. Baik ditindak oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), kepolisian, maupun kejaksaan.