REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Indonesia masuk dalam daftar yang dirilis Bank Dunia, sebagai 35 negara dengan risiko kebencanaan tertinggi. Penilaian Indonesia sebagai negara rawan bencana bukan tanpa alasan.
Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Doni Monardo menyebutkan, Indonesia memang mencatatkan kejadian bencana alam dan nonalam yang cukup tinggi setiap tahunnya. Ada empat klaster jenis bencana yang terjadi di Indonesia.
Pertama, klaster geologi dan vulkanologi yang terdiri atas bencana alam, seperti gempa bumi dan letusan gunung api. Kemudian ada klaster hidrometeorologi yang sifatnya kering, seperti bencana alam berupa kekeringan dan kebakaran hutan lahan (karhutla).
Klaster selanjutnya adalah hidrometerologi yang sifatnya basah, seperti bencana alam banjir, banjir bandang, tanah longsor, angin puting beliung, hingga abrasi pantai. Terakhir, klaster bencana nonalam. Khusus klaster ini, Indonesia masih berjuang menghadapi pandemi Covid-19 yang dikategorikan sebagai bencana nonalam.
"Kita memiliki 500 gunung api, 127 di antaranya aktif. Kita punya hampir 300 patahan lempeng yang berada di hampir semua wilayah nasional kita kecuali Kalimantan. Kita juga berada di pertemuan 3 lempeng subduksi yang berpotensi gempa dan tsunami," ujar Doni dalam keterangan pers usai rapat terbatas, Kamis (15/10).
Indonesia memang terletak di atas 'Ring of Fire' atau cincin api Pasifik. Di atas jalur inilah membentang deretan gunung api paling aktif di dunia. Selain risiko vulkanologi, risiko gempa, dan tsunami di Indonesia juga sangat tinggi, karena secara geologi negara ini membentang di atas pertemuan tiga lempeng besar, yakni subduksi Indo-Australia, subduksi Euroasia, dan subduksi Pasifik.
"Sebagaimana hasil riset tim ITB bersama sjeumlah pakar. yang melakukan riset di selatan Jabar, Banten, Jateng, dan Jatim ada potensi terjadinya pergeseran lempeng yang dapat mengakibatkan gempa yang cukup besar dan bisa diikuti oleh tsunami," kata Doni.
Berdasarkan fakta ilmiah inilah, Indonesia perlu benar-benar siap mengalami bencana alam. Masyarakat, ujar Doni, perlu memiliki kesadaran tinggi terkait mitigasi bencana demi menekan risiko kebencanaan termasuk jumlah korban jiwa.
"Dan kita melihat tentang tsunami di Aceh pada 26 Desember 2004 lalu, setelah dilakukan penelitian sejumlah pakar dari dalam dan luar negeri, bahwa gempa dan tsunami Aceh bukan yang pertama. Telah terjadi berkali-kali, ribuan tahun lalu," katanya.
Masyarakat, ujar Doni, juga perlu belajar dari bencana alam yang pernah terjadi di masa lalu agar lebih siap menghadapi hal serupa di masa depan. Tahun 2018 lalu misalnya, Indonesia mencatatkan jumlah korban jiwa terbanyak sedunia karena tigabencana besar, yakni gempa yang terjadi di NTB, gempa-tsunami-likuifaksi di Palu, dan tsunami di Selat Sunda akibat longsoran Gunung Anak Krakatau pada akhir 2018.
"Semua ini menjadi pelajaran bagi kita dan sejumlah negara bahkan badan internasional ikuti langkah-langkah yang dilakukan pemerintah Indonesia," kata Doni.
Indonesia, selain menghadapi pandemi Covid-19 yang masuk sebagai bencana nonalam, saat ini juga bersiap menghadapi potensi bencana hidrometeorologi basah. Fenomena La Nina yang terjadi pada akhir tahun ini berpotensi meningkatkan curah hujan di wilayah Indonesia. Risiko bencana yang perlu diwaspadai antara lain banjir, banjir bandang, tanah longsor, hingga angin ribut.