Kamis 24 Sep 2020 18:25 WIB

Formappi: Sanksi PKPU Soal Pilkada Kala Pandemi Masih Lemah

Formappi menilai sanksi di PKPU soal pilkada kala pandemi masih lemah.

Rep: Mimi Kartika/ Red: Bayu Hermawan
 Peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formapi) Lucius Karus
Foto: Republika/Rakhmawaty La'lang
Peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formapi) Lucius Karus

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen (Formappi) Lucius Karus menilai, sanksi administrasi yang diatur dalam Peraturan KPU (PKPU) Nomor 13 Tahun 2020 atas perubahan PKPU Nomor 6 Tahun 2020 tentang pelaksanaan pilkada dalam kondisi pandemi Covid-19, masih lemah. Formappi menilai, pada umumnya sanksi berupa teguran tertulis kepada pihak yang melanggar protokol kesehatan Covid-19.

"Sanksi-sanksi yang saya kira akan dengan mudah kemudian dianggap remeh oleh pasangan calon," ujar Lucius dalam diskusi bertema Kampanye Tanpa Gemuruh Massa, Kamis (24/9).

Baca Juga

Lucius mengatakan, dalam PKPU yang baru diundangakan 23 September lalu, menurutnya tidak ada sanksi lebih serius pada saat terjadinya pelanggaran protokol kesehatan. Misalnya, dilaporkan kepada kepolisian.

Dalam PKPU Nomor 13/2020, pada saat terjadi pelanggaran protokol kesehatan, Bawaslu provinsi, kabupaten/kota, hingga Panwas kecamatan dan desa/kelurahan, memberikan peringatan tertulis kepada pihak yang melanggar. Apabila tidak diindahkan dalam kurun waktu satu jam, Bawaslu kemudian mengenakan sanksi berikutnya.

Mulai dari Bawaslu melaporkan ke kepolisian, penghentian dan pembubaran kegiatan kampanye di tempat terjadinya pelanggaran, serta memberiman rekomendasi larangan melakukan metode kampanye yang dilanggar selama tiga hari.

"Saya kira terkait sanksi ini juga sangat lembek di PKPU ini. Umumnya itu peringatan tertulis, tidak ada yang lebih serius untuk itu," kata Lucius.

Selain itu, ia juga mengkritisi masih diperbolehkannya metode kampanye secara fisik. Dalam Pasal 58 mengatur agar peserta pilkada mengutamakan pertemuan terbatas dan pertemuan tatap muka melalui media sosial dan media daring.

Jika tidak dapat dilaksanakan melalui media daring atau media sosial, pertemuan terbatas dan pertemuan tatap muka dilakukan dengan membatasi jumlah peserta yang hadis sebanyak 50 orang dengan menerapkan protokol kesehatan.

Pasal 59 juga mengatur pelaksanaan debat publik atau debat terbuka antarpasangan calon hanya dihadiri oleh pasangan calon, dua orang perwakilan Bawaslu daerah sesuai tingkatannya, empat orang tim kampanye, dan tujuh atau lima orang anggota KPU provinsi atau lima orang anggota KPU kabupaten/kota.

Menurut Lucius, pertemuan dalam ruangan berjumlah 50 orang meski dengan memperhitungkan jarak dan protokol kesehatan, tetap berpotensi adanya pelanggaran. Paslon masih mempunyai pilihan melakukan pertemuan fisik, bukan kampanye melalui daring saja.

"Dan saya kira ini yang paling favorit oleh pasangan calon pertemuan dengan kehadiran fisik orang-orang dalam ruangan," ucap Lucius.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement