REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA - Mahkamah Agung (MA) kembali menyunat hukuman terpidana perkara korupsi melalui putusan Peninjauan Kembali (PK). Kali ini, yang dikabulkan adalah mantan anggota DPR dari Fraksi PKB, Musa Zainuddin yang menjadi terpidana perkara suap proyek Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (Kempupera).
Dalam amar putusannya, MA menjatuhkan hukuman 6 tahun pidana penjara atau berkurang 3 tahun dari putusan Pengadilan Tipikor Jakarta yang menghukum Musa dengan 9 tahun pidana penjara. Majelis PK MA yang memutuskan terdiri dari Andi Samsan Nganro selaku Ketua Majelis serta Leopold Luhut Hutagalung dan Gazalba Saleh selaku Hakim Anggota pada 30 Juli 2020.
Jurru Bicara MA, Andi Samsan Nganro menjelaskan pertimbangan Majelis Hakim mengabulkan PK yang diajukan Musa Zainuddin karena Majelis PK menilai judex facti atau Pengadilan Tipikor Jakarta telah keliru memahami dan memposisikan peran Musa Zainuddin dalam perkara suap tersebut. Setelah mempelajari permohonan PK Musa dan mempelajari pendapat atau tanggapan Jaksa Penuntut Umum dan dihubungkan dengan putusan yang dimohonkan PK, maka MA dalam tingkat peninjauan kembali berpendapat Musa bukan pengusul program aspirasi/optimalisasi ke dalam Rencana Kerja Kementerian PUPR.
"Terpidana sejatinya bukan pelaku aktif, melainkan hanya menggantikan dan melanjutkan kesepakatan mengenai proyek dana aspirasi milik M. Toha sebagai Kapoksi (Ketua Kelompok Fraksi) PKB di Komisi V DPR sebesar Rp 200 Milyar di BPJN IX Maluku dan Maluku Utara. Begitu pula penentuan fee sebesar 8 persen bukan permintaan Terpidana melainkan sudah merupakan standar yang ditentukan oleh saksi Abdul Hoir," jelas Andi Samsan saat dikonfirmasi, Kamis (17/9).
Dengan demikian, meski terbukti bersalah secara bersama-sama menerima suap sebesar Rp 7 miliar dari Abdul Khoir selaku Direktur Utama PT Windhu Tunggal Utama Abdul Khoir dan Komisaris Utama PT Cahayamas Perkasa So Kok Seng alias Tan Frenky Tanaya alias Aseng sebagaimana dakwaan Alternatif-Kesatu, MA berpendapat hukuman 9 tahun penjara yang dijatuhkan Pengadilan Tipikor Jakarta menimbulkan disparitas pemidanaan. Terutama jika dibandingkan dengan hukuman yang dijatuhkan kepada Abdul Khoir selama dua tahun 6 bulan.
"Yang lebih berperan aktif dan signifikan terjadinya tindak pidana korupsi (suap) ini adalah saksi atau terdakwa Abdul Hoir, Amran Hi Mustary dan Jailani," katanya.
Pertimbangan tersebutlah yang menjadi alasan atau keadaan yang meringankan Musa. Oleh karenanya, Majelis PK MA mengurangi hukuman Musa dari semula 9 tahun menjadi 6 tahun pidana.
"Oleh karena itu pidana yang dijatuhkan kepada Terpidana perlu diperbaiki dan pidana yang ditetapkan dinilai sudah tepat, adil dan proporsional. Berdasarkan pertimbangan tersebut, MA mengabulkan permohonan PK Pemohon/Terpidana dan membatalkan putusan judex facti kemudian mengadili kembali," terang Andi Samsan.
Sebelumnya, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengungkapkan keprihatinan atas kecenderungan MA yang seringkali mengurangi atau menyunat hukuman para koruptor melalui putusan Peninjauan Kembali (PK). Lembaga antirasuah khawatir kecenderungan tersebut menjadi angin segar bagi koruptor dan sebaliknya menjadi preseden buruk dalam upaya memberantas korupsi di Indonesia.
"KPK prihatin karena kecenderungan pengurangan hukuman setiap pemohon PK oleh MA tentu menjadi angin segar bagi para koruptor. Di sisi lain putusan demikian juga tidak mendukung upaya pemerintah dalam perang melawan korupsi," kata Plt Jubir KPK, Ali Fikri.
Ali menuturkan, KPK mencatat sepanjang periode 2019 hingga saat ini terdapat 16 perkara yang ditangani KPK yang mendapatkan pengurangan hukuman melalui putusan PK. Namun, sambung Ali, sebagai bagian penegak hukum, KPK menghormati putusan majelis hakim PK tersebut. KPK berharap MA agar dapat segera mengirimkan salinan putusan PK Iman Ariyadi agar dapat dipelajari lebih lanjut.
Hal yang akan dipelajari yakni mengenai pertimbangan majelis hakim untuk mengkorting hukuman terpidana kasus suap perizinan Transmart tersebut. Harapan itu disampaikan lantaran KPK belum mendapat salinan putusan sejumlah perkara PK yang telah diputus MA.
"Saat ini beberapa perkara PK yang telah diputus majelis hakim, KPK belum mendapatkan salinannya sehingga tidak tahu pertimbangan apa yang menjadi dasar pengurangan hukuman tersebut," kata Ali.
Indonesia Corruption Watch (ICW) menilai PK hanyalah akal-akalan sekaligus jalan pintas agar pelaku korupsi itu bisa terbebas dari jerat hukum. ICW juga meminta kepada MA agar menolak 19 permohonan peninjauan kembali yang sedang diajukan oleh para terpidana kasus korupsi.
Peneliti ICW, Kurnia Ramadhana mengatakan, sedari awal MA tidak menunjukkan keberpihakannya pada sektor pemberantasan korupsi. Tren vonis ICW pada tahun 2019 membuktikan hal tersebut, rata-rata hukuman untuk pelaku korupsi hanya 2 tahun 7 bulan penjara.
"Tentu ini semakin menjauhkan efek jera bagi pelaku korupsi, " tegas Kurnia.
Dalam konteks ini, lanjut Kurnia, Ketua Mahkamah Agung Muhammad Syarifudin mesti selektif untuk memilih majelis yang akan menyidangkan perkara pada tingkat PK. Semestinya hakim-hakim yang kerap menjatuhkan vonis ringan terhadap pelaku korupsi tidak lagi dilibatkan.
Tak hanya itu, klasifikasi korupsi sebagai extraordinary crime seharusnya dapat dipahami dalam seluruh benak hakim agung, ini penting, agar di masa yang akan datang putusan-putusan ringan tidak lagi dijatuhkan. Tren untuk mengurangi hukuman di tingkat PK ini mesti menjadi perhatian khusus bagi Ketua Mahkamah Agung.
Sebab, berdasarkan data ICW sejak Maret 2019 lalu sampai dengan saat ini setidaknya MA telah mengurangi hukuman sebanyak 11 terpidana kasus korupsi di tingkat PK. Jika ini terus menerus berlanjut, maka publik tidak lagi akan percaya terhadap komitmen MA untuk memberantas korupsi.