Kamis 27 Aug 2020 22:01 WIB

MA: Tidak Ada Permintaan Fatwa Hukum untuk Djoko Tjandra

MA menegaskan tidak ada permintaan fatwa hukum untuk perkara Djoko Tjandra

Rep: Ronggo Astungkoro/ Red: Bayu Hermawan
Buronan kasus korupsi pengalihan hak tagih (cessie) Bank Bali Djoko Tjandra (tengah) yang ditangkap di Malaysia ditunjukkan kepada media saat konferensi pers di kantor Bareskrim Mabes Polri, Jakarta, Kamis (30/7/2020). Djoko Tjandra berhasil ditangkap setelah buron selama sebelas tahun mulai dari 2009 hingga 2020 usai divonis dua tahun penjara oleh Mahkamah Agung. ANTARA FOTO/Muhammad Adimaja/aww.
Foto: ANTARA/Muhammad Adimaja
Buronan kasus korupsi pengalihan hak tagih (cessie) Bank Bali Djoko Tjandra (tengah) yang ditangkap di Malaysia ditunjukkan kepada media saat konferensi pers di kantor Bareskrim Mabes Polri, Jakarta, Kamis (30/7/2020). Djoko Tjandra berhasil ditangkap setelah buron selama sebelas tahun mulai dari 2009 hingga 2020 usai divonis dua tahun penjara oleh Mahkamah Agung. ANTARA FOTO/Muhammad Adimaja/aww.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Juru Bicara (Jubir) Mahkamah Agung (MA), Andi Samsan Nganro menegaskan pihaknya tidak pernah menerima surat permintaan fatwa dari siapapun terkait perkara Djoko Tjandra. Menurut Andi, hal tersebut sudah dipastikan oleh MA.

"Setelah kami cek untuk memastikan apakah benar ada permintaan fatwa hukum ke MA terkait perkara Djoko S Tjandra, ternyata permintaan fatwa itu tidak ada," ujarnya, Kamis (27/8).

Baca Juga

Andi menuturkan, MA memang berwenang memberikan pertimbangan-pertimbangan dalam bidang hukum. Itu dapat dilakukan baik diminta maupun tidak. Jika tidak diminta, MA hanya berwenang menyampaikan pertimbangannya hanya kepada lembaga tinggi negara.

"Jadi tentu ada surat permintaan resmi dari lembaga atau instansi yang berkepentingan kepada MA. Oleh karena itu MA tidak sembarangan mengeluarkan apakah itu namanya fatwa ataukah pendapat hukum," katanya.

Kejaksaan Agung (Kejakgung) akan mendalami dugaan keterlibatan para penegak hukum lain terkait dengan upaya penerbitan fatwa bebas MA untuk terpidana Djoko Sugiarto Tjandra. Tak menutup kemungkinan, pengungkapan kasus yang melibatkan jaksa Pinangki Sirna Malasari tersebut, bakal menyeret para hakim, maupun pejabat di lingkaran kamar yudikatif tertinggi tersebut.

Kepala Pusat Penerangan dan Hukum (Kapuspenkum) Kejakgung Hari Setiyono mengatakan, ragam praduga terhadap pihak-pihak yang punya keterkaitan dalam suatu kasus, merupakan proses lumrah dalam penyidikan. Termasuk, jika nantinya penyidikan di Jaksa Agung Muda Pidana Khusus (Jampidsus) mampu menemukan alat-alat bukti yang cukup untuk menetapkan tersangka baru dari kalangan penegakan hukum lainnya. 

"Tentu penyidikan ini akan berkembang. Apakah nanti ada kawan-kawan (aparat penegak hukum selain kejaksaan) yang berbuat, kemudian ada persekongkolan dengan pihak-pihak yang lain, itu yang akan dilihat dalam perkembangan penyidikan," kata Hari saat memberikan keterangan pers di Gedung Pidsus, Kejakgung, Jakarta, pada Kamis (27/8). 

Jampidsus menetapkan Djoko Tjandra sebagai tersangka, terkait dengan permufakatan penerbitan fatwa bebas dari MA, pada Kamis (27/8). Dalam kasus ini, Jampidsus, pada Selasa (11/8), sudah menetapkan jaksa Pinangki Sirna Malasari sebagai tersangka.

Kedua tersangka itu, terikat pada kasus yang sama dalam penyidikan terkait upaya penerbitan fatwa bebas Djoko Tjandra. Atas upaya itu, tersangka Pinangki, mendapatkan imbalan berupa uang senilai 500 ribu dolar AS (Rp 7,5 miliar) dan janji.

Djoko Tjandra, terpidana korupsi hak tagih utang Bank Bali 1999. Pada 2009, MA memvonisnya dua tahun penjara. Akan tetapi, Djoko Tjandra tak dapat dieksekusi ke jeruji besi karena berhasil kabur ke Papua Nugini. Setelah buronan selama 11 tahun, Juli 2020, Bareskrim Polri menangkapnya di Malaysia. Sebelum tertangkap, Djoko Tjandra sempat mengajukan Peninjauan Kembali (PK) atas kasusnya ke Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan (Jaksel).  Pengajuan PK tersebut, yang menguak skandal hukum untuk membebaskan Djoko Tjandra dari jeratan hukum, atas perbantuan Pinangki. 

"Berangkat dari informasi terkait dengan permohonan PK, tetapi ternyata dalam perkembangannya dipenyidikan khusus terhadap tersangka PSM (Pinangki), ada juga perbuatan dalam kaitannya dengan mengurus fatwa di MA," kata Hari.

Penyidikan di Jampidsus, kata Hari, menguatkan dugaan peran Pinangki yang mengupayakan penerbitan fatwa MA untuk  pembebasan Djoko Tjandra dari status hukum atas vonis 2009. "Bisa dipahami untuk urusan eksekusi (atas vonis MA 2009), dilakukan oleh jaksa. Kemudian, bagaimana caranya mengubah agar itu tidak dapat dieksekusi, tentunya seperti yang sedang dalam penyidikan saat ini (di Jampidsus). Yaitu, dugaannya dengan meminta fatwa MA," ujar Hari.

Upaya penerbitan fatwa MA untuk Djoko Tjandra tersebut, kata Hari, Pinangki dilakukan rentang periode November 2019, sampai Januari 2020. Atas perbuatan tersebut, penyidik menebalkan sangkaan Pasal 5 ayat (1) a, atau b, atau Pasal 13 UU Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) 31/1999 dan 20/2001 terhadap tersangka Djoko Tjandra. Sedangkan terhadap Pinangki, penyidikan di Jampidsus, menebalkan sangkaan Pasal 5 ayat (2), atau Pasal 11, dan Pasal 12 a atau b, serta Pasal 15 UU Tipikor 31/1999, dan 20/2001. 

 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement