Kamis 13 Aug 2020 20:51 WIB

BRG: Pencegahan Karhutla Bukan Hanya Tanggung Jawab Desa

BRG mengatakan terdapat beberapa hal yang menjadi penyebab kebakaran.

Kebakaran lahan (ilustrasi). Deputi Edukasi, Sosialisasi, Partisipasi dan Kemitraan Badan Restorasi Gambut (BRG) Myrna Safitri mengatakan pencegahan kebakaran hutan dan lahan (kahurtla) tidak bisa menjadi permasalahan desa semata karena terdapat beberapa hal yang menjadi penyebab kebakaran.
Foto: Antara/Wahdi Septiawan
Kebakaran lahan (ilustrasi). Deputi Edukasi, Sosialisasi, Partisipasi dan Kemitraan Badan Restorasi Gambut (BRG) Myrna Safitri mengatakan pencegahan kebakaran hutan dan lahan (kahurtla) tidak bisa menjadi permasalahan desa semata karena terdapat beberapa hal yang menjadi penyebab kebakaran.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Deputi Edukasi, Sosialisasi, Partisipasi dan Kemitraan Badan Restorasi Gambut (BRG) Myrna Safitri mengatakan pencegahan kebakaran hutan dan lahan (kahurtla) tidak bisa menjadi permasalahan desa semata. Sebab, terdapat beberapa hal yang menjadi penyebab kebakaran.

Menurut Mryna, perubahan di tingkat tapak memang dapat dilakukan salah satunya dengan program BRG yaitu Desa Peduli Gambut. Program itu telah berhasil mendorong banyak desa untuk memasukkan aspek perlindungan ekosistem gambut dalam APBDes, RKPDes, dan RPJMDes.

Baca Juga

"Misalnya dalam intervensi yang dilakukan pada 2019 di situ ada 143 desa dan kelurahan yang telah mengalokasikan di dalam APBDes-nya sekitar Rp 16 miliar untuk kepentingan berkaitan dengan restorasi gambut. Sekitar Rp 9 miliar khusus berkaitan dengan pencegahan kebakaran hutan dan lahan," kata Mryna dalam diskusi tentang Desa Peduli Gambut yang dipantau dari Jakarta, Kamis (13/8).

Namun, terkait upaya pencegahan tidak bisa dilihat hitam dan putih agar tidak terjadi penyederhanaan pandangan bahwa semua tanggung jawab perlindungan gambut diberikan kepada desa. Padahal, ujar Mryna, terkait karhutla di desa setidaknya memiliki lima jenis topologi dengan yang pertama adalah kebakaran yang ada di area terpencil dengan akses terbuka dan jauh dari pusat pemukiman warga.

"Ketika kita berbicara karhutla, kita banyak bicara di luar Jawa di mana penduduk juga sangat sedikit. Jadi kemampuan desa untuk mengontrol area terpencil dengan akses terbuka itu memang sangat kecil," kata Mryna.

Kedua, karhutla juga sering terjadi di area konflik baik antar desa maupun degan perusahaan. Topologi ketiga adalah kebakaran di area abu-abu yang tidak diketahui secara legal pemiliknya tapi secara de facto kebanyakan dipakai untuk perkebunan dan pembakaran dilakukan secara terorganisasi oleh tenaga kerja yang tidak diketahui asalnya.

Topologi keempat adalah kebakaran yang terjadi di dekat daerah urban yang lahannya banyak dimiliki oleh orang kota dengan desa tidak memiliki data kepemilikannya. Pola kelima adalah kebakaran yang terjadi di area yang dimanfaatkan oleh masyarakat.

Upaya pengelolaan lahan tanpa bakar (PLTB), kata dia, memang efektif digunakan untuk kategori kelima yaitu di area lahan yang jelas digunakan oleh masyarakat dan pembakaran dilakukan karena ketiadaan pilihan lain.

Tetapi, dalam empat aspek lain PLTB tidak bisa menjadi solusi pencegahan karhutla. Menurut dia, di situ terdapat permasalahan politik ekonomi supra desa.

"Menurut saya tidak fair kemudian kalau kita menempatkan semua tanggung jawab itu ada pada desa. Oleh sebab itu ketika berbicara tentang konteks peranan desa dalam pencegahan karhutla maka aspek supra desa harus menjadi hal penting," tegasnya.

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement