REPUBLIKA.CO.ID, oleh Dian Fath Risalah
Mantan Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Laode M Syarif menilai sistem penggajian baru pegawai KPK merupakan sebuah kemunduran. Sistem penggajian baru tersebut merupakan imbas dari terbitnya PP Nomor 41 Tahun 2020 tentang pengalihan pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menjadi pegawai aparatur sipil negara (ASN).
"Berdasarkan aturan tersebut pegawai KPK mendapatkan penghasilan yang terbagi tiga yakni gaji, tunjangan, dan tunjangan khusus. Hal tersebut adalah suatu kemunduran lantaran, selama ini pegawai KPK menerima gaji tunggal. Jadi bukan mengikuti sistem penggajian KPK yang sudah benar tapi malah mengikuti yang salah," kata Syarif dalam diskusi daring, Senin (10/8).
Presiden Joko Widodo resmi menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 41 Tahun 2020 tentang Pengalihan Pegawai KPK menjadi ASN. Dalam Bab IV Pasal 9 PP No.41/2020 ayat (1) disebutkan Pegawai KPK yang sudah menjadi ASN diberikan gaji dan tunjangan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan. Gaji dan tunjangan juga dapat diberikan khusus sesuai ditetapkan dalam Peraturan Presiden. Sistem penggajian KPK pun akan mengikuti sistem yang diadopsi ASN, penggajian tidak lagi menggunakan sistem single salary.
Menurut Syarif sistem penggajian tunggal atau single salary sistem akan lebih mudah untuk dikontrol dan diawasi, ketimbang sistem gaji dan tunjangan. "Di situ dikatakan gaji KPK ada tiga, gaji, tunjangan, dan tunjangan khusus. Dari dulu itu sudah menyoroti single salary system, jadi gaji cuma satu ya gaji supaya gampang dikontrol," ujarnya.
Menurut Syarif, UU KPK hasil revisi jelas melemahkan lembaga antirasuah. "Jadi tidak ada penguatan tapi pelemahan. Berikutnya, soal alih fungsi pegawai KPK yang dulunya independen menjadi ASN yang barusan dikahetkan lagi sistem penggajian diatur PP yang baru saja keluar," ujarnya.
Penyidik senior KPK Novel Baswedan menilai alih status kepegawaian pegawai KPK menjadi merupakan tahap akhir pelemahan KPK. "Ini adalah tahap akhir pelemahan KPK melalui masalah indepedensi pegawainya," kata Novel dalam pesan singkatnya.
Novel mengatakan, aturan tersebut semakin memperlihatkan Presiden Joko Widodo berkontribusi langsung terhadap pelemahan KPK. "Jadi pelemahan KPK selama ini adalah jelas merupakan pilihan strategi Presiden dalam memberantas korupsi, yang akibatnya justru pemberantasan korupsinya yang diberantas, bukan korupsinya, sungguh ironi, " tutur Novel.
Novel menegaakan, untuk memberantas korupsi dengan optimal sangat diperlukan lembaga anti korupsi yang independen. Hal tersebut bahkan tertuang dalam Konvensi PBB Anti Korupsi atau United Nations Convention Against Corruption (UNCAC) dan The Jakarta Principles, yang telah diratifikasi oleh Indonesia.
"Lembaga anti korupsi yang independen harus memiliki pegawai yang independen dan mendapat perlindungan negara dalam pelaks tugasnya untuk memberantas korupsi," tegas Novel.
Mantan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Abaraham Samad menilai ada beberapa konsekuensi hukum dan politik dari alih status pegawai KPK menjadi ASN. Konsekuensi pertama, yakni kemandirian lembaga dan SDM. Karena KPK telah menjadi lembaga di bawah Presiden, sehingga mudah diintervensi kepentingan politik yang bisa menyandera agenda pemberantasan korupsi yang dijalankan.
"Bahkan yang paling dikhawatirkan, tidak akan ada lagi kerja-kerja penindakan tindak pidana korupsi. Yang ada cuma pencegahan, kampanye, sosialisasi," kata Samad dalam keterangannya.
Konsekuensi kedua, dengan adanya alih status kepegawaian akan mengurangi militansi dalam kampanye dan agitasi advokasi antikorupsi. Padahal, kata Samad, selama ini pegawai KPK dikenal berani menyuarakan isu antikorupsi, sekalipun pada beberapa kasus yang berseberangan dengan Pimpinan KPK.
"Hal ini karena pegawai KPK memiliki militansi ideologis yang akarnya itu karena mereka "pegawai KPK" yang diangkat dan diberhentikan oleh KPK, bukan instansi lain. Mereka (pegawai KPK) menjaga KPK seperti menjaga umah sendiri. Alih status ini membuat mereka bukan lagi "orang KPK", meskpun statusnya "pegawai KPK", terang Samad.
Konsekuensi ketiga, lanjut Samad, dengan adanya alih status kepegawaian akan menghilangkan kekhususan KPK sebagai lembaga antikorupsi. Penerimaan pegawai KPK yang selama ini dengan "Indonesia Memanggil" adalah bentuk dari kekhususan KPK itu.
"Tapi sebetulnya kekhususan KPK itu sudah mati ketika UU No 19/2019 diberlakukan dengan menempatkan KPK di bawah Presiden," tegas Samad.
Wakil Ketua KPK, Nurul Ghufron, menyayangkan pernyataan yang menyebut independensi pegawai KPK akan tergerus setelah alih status kepegawaian menjadi ASN. "Independensi pegawai KPK sebagai penegak hukum terlahir dari spirit dan pemahaman bahwa KPK adalah penegak hukum dan karenanya independensi adalah hal yang utama dalam menegakkan hukum," tegas Ghufron dalam pesan singkatnya, Selasa (11/8).
Ghufron mengatakan, independensi KPK terlahir karena penanaman kecintaan insan KPK kepada Republik Indonesia. Kecintaan tersebut pun ditanam sejak rekrutmen sampai dengan pembinaan dan kode etik KPK.
Diketahui, Peraturan Pemerintah 41/2020 terdiri dari 12 Pasal. Merujuk pasal 1 ayat (7) maka pegawai KPK yang berstatus ASN akan berpedoman perundang-undangan mengenai ASN. Pegawai KPK adalah ASN sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-undangan mengenai ASN, seperti dikutip dalam PP 41/2020.
Pasal 2 dalam beleid itu menyebut ruang lingkup pengalihan pegawai KPK menjadi pegawai ASN meliputi pegawai tetap dan pegawai tidak tetap. Proses pengalihan sebagaimana tertuang pada Pasal 3, pegawai mesti memiliki kualifikasi, kompetensi, integritas dan moral yang baik.
PP juga mengatur tahapan pengalihan pegawai yang memperhatikan struktur organisasi dan tata kerja KPK. Proses ini selanjutnya akan diatur lebih lanjut dalam peraturan KPK sesuai Pasal 6.
Pegawai KPK berstatus ASN nantinya memperoleh gaji dan tunjangan sesuai peraturan perundang-undangan sebagaimana diatur dalam Pasal 9. Gaji dan tunjangan juga dapat diberikan khusus sesuai ditetapkan dalam Peraturan Presiden.
Sistem penggajian KPK pun akan mengikuti sistem yang diadopsi ASN, penggajian tidak lagi menggunakan sistem single salary.
"Penghasilan yang diterima pegawai KPK saat ini tetap diberikan sampai dengan seluruh proses pengalihan pegawai KPK menjadi pegawai ASN selesai dilaksanakan," bunyi Pasal 11.
Peralihan pegawai KPK menjadi ASN imbas dari revisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 perubahan atas Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang KPK. Pasal 1 ayat (6) menyebut, Pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi adalah aparatur sipil negara sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-undangan mengenai aparatur sipil negara.