REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Mantan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Mochamad Jasin menyebut lembaga antirasuah bakal tidak berdaya, bila terjadi korupsi dalam penyaluran dana bantuan sosial terkait Covid-19.
Pasalnya, kata Jasin, saat ini KPK terlalu prosedural dalam melakukan penegakan hukum seperti yang diatur dalam UU No.19/2019 Tentang Perubahan Kedua atas UU No.30/2002 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
“Akan sulit karena jadi prosedural, kalau sekarang kan harus lapor ke Presiden kalau yang dilakukan kepala daerah masif misalnya, mana mungkin akan disetujui Presiden penaganan kasus itu. Bila terjadi penyimpangan bantuan Covid-19 semakin sulit menangani,” kata Jasin dalam diskusi yang digelar Indonesia Corruption Watch (ICW), Rabu (22/4).
Padahal, lanjut Jasin, sebelum adanya revisi UU KPK, setiap penanganan kasus korupsi di KPK tidak harus melaksanakan prosedural khusus, seperti halnya melapor dan berkonsultasi dengan presiden. Namun, dalam UU No 19/2019 prosedur khusus yang tidak berlaku di UU KPK jadi berlaku .
“Jadi apabila penyalahgunaan bantuan Covid-19 dilakukan bupati, wali kota dan wakilnya atau para menteri prosedurnya harus lapor Presiden untuk tangani kasus itu,” tutur Jasin.
Sebelumnya, KPK menerbitkan Surat Edaran No. 11 Tahun 2020, tanggal 21 April 2020 tentang Penggunaan Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS) dan data non-DTKS dalam pemberian Bantuan Sosial kepada masyarakat dalam upaya mengatasi dampak pandemik global Corona Virus Disease 2019 (COVID-19).
Ketua KPK, Firli Bahuri mengatakan, melalui SE yang ditujukan kepada Ketua Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 baik di tingkat nasional maupun daerah, dan pimpinan kementerian/lembaga/pemerintah daerah tersebut, KPK merekomendasikan lima hal agar pendataan dan penyaluran bansos tepat sasaran. Pertama, kementerian/lembaga dan pemda dapat melakukan pendataan di lapangan, namun tetap merujuk kepada DTKS.
“Jika ditemukan ketidaksesuaian, bantuan tetap dapat diberikan dan data penerima bantuan baru tersebut harus dilaporkan kepada Dinas Sosial atau Pusat Data dan Informasi Kesejahteraan Sosial (Pusdatin) Kementerian Sosial untuk diusulkan masuk ke dalam DTKS sesuai peraturan yang berlaku,” kata Firli di Jakarta, Rabu (22/4).
Kedua, lanjutnya, jika penerima bantuan terdaftar pada DTKS namun fakta di lapangan tidak memenuhi syarat sebagai penerima bantuan, maka harus dilaporkan ke Dinsos/Pusdatin untuk perbaikan DTKS. Kemudian ketiga, untuk memastikan data valid maka data penerima bansos dari program-program lainnya atau data hasil pengumpulan di lapangan agar dipadankan data NIKnya dengan data Dinas Dukcapil setempat.
Keempat, kementerian/lembaga dan pemda menjamin keterbukaan akses data tentang penerima bantuan, realisasi bantuan dan anggaran yang tersedia kepada masyarakat sebagai bentuk transparansi dan akuntabilitas. “Dan kelima, KPK mendorong pelibatan dan peningkatan peran serta masyarakat untuk mengawasi. Untuk itu, kementerian/lembaga dan pemda perlu menyediakan sarana layanan pengaduan masyarakat yang mudah, murah dan dapat ditindaklanjuti segera,” ujar Firli.
Berdasarkan ketentuan yang diatur dalam Pasal 6 huruf a, b, dan c Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 Tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, KPK bertugas antara lain melakukan tindakan-tindakan pencegahan, koordinasi, dan monitoring sehingga tidak terjadi tindak pidana korupsi.