Selasa 16 Jun 2020 16:52 WIB

Pemerintah Minta Tunda Pembahasan Bukan Batalkan RUU HIP

Pemerintah ingin TAP MPRS XXV/MPRS/1966 dicantumkan jika RUU HIP kembali dibahas.

Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan, Mahfud MD, dan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, Yasonna Laoly, saat konferensi pers di Kemenko Polhukam, Jakarta Pusat, Selasa (16/6).
Foto: Dok. Humas Kemenko Polhukam
Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan, Mahfud MD, dan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, Yasonna Laoly, saat konferensi pers di Kemenko Polhukam, Jakarta Pusat, Selasa (16/6).

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Ronggo Astungkoro, Nawir Arsyad Akbar, Mabruroh

Menyusul kontroversi Rancangan Undang-Undang (RUU) Haluan Ideologi Pancasila yang muncul belakangan ini, pemerintah merespons dan memutuskan untuk menunda pembahasan. Pemerintah meminta DPR untuk lebih dulu menyerap aspirasi masyarakat tentang RUU HIP.

Baca Juga

"Sesudah Presiden berbicara dengan banyak kalangan dan mempelajari isinya, maka pemerintah memutuskan untuk menunda atau meminta penundaan kepada DPR atas pembahasan RUU tersebut," ujar Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan, Mahfud MD, dalam keterangan persnya, Selasa (16/6).

Mahfud menjelaskan, saat ini pemerintah masih fokus terhadap penangaman pandemi Covid-19. Menurutnya, ia dan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkum HAM) diminta untuk menyampaikan informasi tersebut ke publik.

"Pemerintah masih lebih fokus dulu untuk menghadapi pandemi Covid-19. Menko Polhukam dan Menkumham diminta menyampaikan ini," katanya.

Mahfud MD menjelaskan, RUU HIP disusun oleh DPR dan masuk dalam Prolegnas 2020. Tahapan saat ini, pemerintah belum terlibat pembicaraan dan baru menerima RUU-nya. Presiden pun belum mengirim Surat Presiden (Supres) untuk membahasnya dalam proses legislasi.

Mahfud menyatakan, jika tahapan sudah mencapai pembahasan dengan pemerintah, maka pemerintah akan mengusulkan pencantuman TAP MPRS Nomor XXV/MPRS/1966 di dalam konsideran RUU HIP. Ia mengatakan, pelarangan komunisme di Indonesia bersifat final karena berdasarkan TAP MPR No I Tahun 2003 tidak ada ruang hukum untuk mengubah atau mencabut TAP MPRS Nomor XXV/MPRS/1966.

"Pemerintah akan menolak jika ada usulan memeras Pancasila menjadi Trisila atau Ekasila. Bagi pemerintah, Pancasila adalah lima sila yang tercantum di dalam Pembukaan UUD 1945 yang disahkan tanggal 18 Agustus 1945 dalam satu kesatuan paham," jelasnya.

Menurut Mahfud, pemerintah berpendapat rumusan Pancasila yang sah ialah rumusan yang disahkan pada 18 Agustus 1945. Rumusan Pancasila itu disahkan oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia dan terkandung dalam pembukaan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945.

"Rumusan Pancasila yang sah itu adalah rumusan yang disahkan pada 18 Agustus 1945 oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia yang terkandung dalam pembukaan UUD 1945 itu yang sah," ujar Mahfud.

Dari aspek substansi, Mahfud menjelaskan, Presiden juga menyatakan TAP MPRS Nomor XXV/MPRS/1966 masih berlalu mengikat. Karena itu, tentang hal tersebut tidak perlu dipersoalkan lagi. Menurut dia, pemerintah tetap berkomitmen TAP MPRS tersebut merupakan suatu produk hukum peraturan perundang-undangan yang mengikat.

"TAP MPRS tentang larangan komunisme Marxisme dan Leninisme itu merupakan suatu produk hukum peraturan perundang-undangan yang mengikat dan tidak bisa lagi dicabut oleh lembaga negara atau oleh UU sekarang ini," jelas dia.

Dalam keterangan pers bersama Mahfud, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, Yasonna Laoly menambahkan, pemerintah belum menyampaikan secara resmi keputusan terkait pembahasan RUU HIP. Pemerintah akan menyampaikannya secara resmi paling lama 30 hari ke depan.

"Pemerintah kan punya waktu 30 hari. Nanti, saya tidak tahu tanggal pastinya, tapi bulan ini. Nanti akan disampaikan secara resmi," kata Yasonna.

Wakil Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR Achmad Baidowi mengatakan bahwa nantinya tidak ada pembahasan lebih lanjut terkait RUU HIP.

"Jika nanti pemerintah menolak pembahasan, ya berarti RUU HIP dikembalikan ke DPR dan tidak ada pembahasan lebih lanjut," ujar Baidowi saat dihubungi, Selasa (16/6).

Ia mengatakan, jika disusun kembali, DPR punya kesempatan luas untuk menampung aspirasi terkait RUU HIP. Mekanismenya sudah diatur dalam UU 15/2019 jo UU 12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan serta Peraturan DPR tentang Pembentukan UU dan Peraturan DPR tentang Tata Tertib (Tatib).

Terkait penundaan pembahasan RUU HIP, DPR meminta pemerintah mengirimkan sikapnya secara tertulis. Baik itu menunda, menolak, atau menyetujui pembahasan.

"Kami juga mengapresiasi aspirasi dan pendapat yang berkembang di masyarakat yang sangat kritis terhadap RUU ini," ujar Baidowi.

Sebagai informasi, RUU HIP sendiri disebut sebagai pedoman bagi penyelenggara negara dalam menyusun dan menetapkan perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi. Hal itu dinilai perlu untuk menerapkan kebijakan pembangunan nasional di bidang politik, hukum, ekonomi, sosial, budaya, mental, spiritual, pertahanan, dan keamanan.

Di dalam Pasal 2 draf RUU HIP dijelaskan, Haluan Ideologi Pancasila terdiri atas  pokok-pokok pikiran Haluan Ideologi Pancasila; tujuan, sendi pokok, dan ciri pokok Pancasila; Masyarakat Pancasila; Demokrasi politik Pancasila; dan demokrasi ekonomi Pancasila.

Pada Pasal 4 poin (a) menjelaskan bahwa RUU HIP bertujuan sebagai pedoman bagi penyelenggara negara dalam menyusun kebijakan, perencanaan, perumusan, harmonisasi, sinkronisasi, pelaksanaan dan evaluasi terhadap program Pembangunan Nasional di berbagai bidang, baik di pusat maupun di daerah, yang berlandaskan pada nilai-nilai dasar Pancasila.

Pengamat politik, Siti Zuhro menilai, ada beberapa persoalan pokok di dalam RUU HIP. Di antaranya posisi Pancasila dalam kehidupan berbangsa dan bernegara merupakan norma paling tinggi dan dasar falsafah negara. Sehingga, perumusan Pancasila pada tingkat norma UU menurunkan nilai Pancasila sebagai dasar falsafah bangsa dan merendahkan posisi Pancasila.

Kemudian, penafsiran Pancasila secara autentik ada dalam pasal-pasal UUD 1945 yang telah disepakati bersama. RUU HIP tanpa memperhatikan norma dalam Pasal 2 UUD 1945.

"RUU HIP Hanya melihat dan merujuk Pancasila 1 Juni 1945. Hal tersebut mendistorsi Pancasila dan mengkhianati kesepakatan para pendiri bangsa yang mewakili seluruh komponen bangsa yang disepakati dalam berbagai dokuman autentik kenegaraan yang tercatat hingga sekarang," ujar Zuhro.

Pancasila harus dibaca secara utuh dari latar belakang kelahirannya, pidato dan pendangan para pendiri bangsa - para tokoh bangsa dalam BPUPK, Pidato Soekarno 1 Juni 1945, kesepakatan bulat pada Piagam Jakarta 22 Juni 1945, Pembukaan UUD 1945 serta Dekrit Presiden 5 Juli 1959 yang diterima secara bulan oleh DPR RI pada tanggal 22 Juli 1959.

Karenanya, kata Zuhro, hanya menjadikan keadilan sosial sebagai pokok Pancasila telah mendistorsi makna Pancasila yang terdiri dari lima pokok (dasar), dan Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai causa prima dari sila-sila Pancasila. Jika mau mengambil satu sila, kata dia, seharusnya cukup merujuk Ketuhanan Yang Maha Esa seperti yang ada dalam dalam Pasal 29 ayat (1) UUD 1945. Negara berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.

Zuhro beranggapan ada kekhawatiran yang sangat beralasan. HIP merupakan agenda menghidupkan kembali ajaran komunisme, terutama dengan sama sekali tidak merujuk pada Ketetapan MPR RI yang masih berlaku, yaitu Ketetapan MPRS RI No. XXV/MPRS/1966. Sementara seluruh Ketetapan MPR yang lainnya dirujuk sebagai dasar penyusunan RI dan hanya menjadikan Keadilan Sosial sebagai esensi pokok dari Pancasila.

"RUU ini bisa dipahami sebagai RUU yang kental nuansa politiknya. Sebagai arena testing the water untuk menguji apakah ada resistensi atau tidak dari masyarakat," ujarnya

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement