Selasa 16 Jun 2020 13:53 WIB

Fadli Zon Ungkap Lima Alasan RUU HIP Harus Dicabut

Pancasila tak boleh diatur oleh undang-undang, melainkan oleh Undang-Undang Dasar.

Rep: Arif Satrio Nugroho/ Red: Ratna Puspita
Anggota Komisi I DPR RI Fadli Zon.
Foto: Republika/Febrianto Adi Saputro
Anggota Komisi I DPR RI Fadli Zon.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Wakil Ketua Umum Gerindra Fadli Zon menyebutkan lima alasan agar rancangan undang-undang (RUU) Haluan Ideologi Pancasila (HIP) dicabut atau dihentikan pembahasannya. Alasan pertama, setiap undang-undang tak boleh berpretensi menjadi undang-undang dasar. 

Namun, menurut Fadli, fatsoen ketatanegaraan itu telah dilanggar oleh RUU HIP. Fadli mengatakan, dalam Naskah Akademik RUU HIP, rumusan identifikasi masalah lebih tepat diajukan saat kita hendak merumuskan undang-undang dasar, bukannya undang-undang.

Baca Juga

"Pretensi menjadi undang-undang dasar inilah, menurut saya, menjadi alasan pertama kenapa RUU HIP perlu segera ditarik, dan bukan hanya butuh direvisi," kata kepala Badan Kerja Sama Antarparlemen dalam pesannya, Senin (15/6) malam. 

Alasan kedua, lanjut Fadli, Pancasila adalah dasar negara, sumber dari segala sumber hukum, yang mestinya jadi acuan dalam setiap regulasi atau undang-undang. Ironisnya, RUU HIP ini malah ingin menjadikan Pancasila sebagai undang-undang itu sendiri. 

"Standar nilai kok mau dijadikan produk yang bisa dinilai? Menurut saya, ada kekacauan logika di sini," kata dia. 

Fadli mengatakan, Pancasila tak boleh diatur oleh undang-undang, karena seluruh produk hukum dan perundang-undangan kita menjadi implementasi dari Pancasila. Satu-satunya yang bisa mengatur institusionalisasi Pancasila hanyalah Undang-Undang Dasar 1945, dan bukan undang-undang di bawahnya, termasuk bukan juga oleh omnibus law.

"Kalau diteruskan, ini akan melahirkan kerancuan yang fatal dalam bidang ketatanegaraan," ujarnya. 

Alasan ketiga, RUU HIP gagal memisahkan wacana dari norma. Pancasila, dengan rumusan kelima silanya, adalah norma yang rumusannya terjaga di dalam naskah Pembukaan UUD 1945. Sementara, istilah “Trisila” dan “Ekasila”, sebagaimana yang disebut dalam Pasal 7 RUU HIP, hanyalah wacana yang muncul saat gagasan Pancasila pertama kali dipidatokan Bung Karno tanggal 1 Juni 1945. Itu menunjukkan adanya cacat materil dalam penyusunan RUU HIP ini.

Alasan keempat, Fadli menyebut RUU ini juga mengandung cacat formil. RUU ini berpretensi menjadi omnibus law meski kajian akademiknya tak dimaksudkan demikian. 

Dalam pasal-pasalnya, RUU ini ingin mengatur berbagai isu, mulai dari soal demokrasi, ekspor, impor, telekomunikasi, pers, media, riset, hingga soal teknologi. "Isinya jadi ke mana-mana. Kelihatannya, latar belakang RUU ini sebenarnya hanya untuk memperkuat Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) saja," kata Fadli. 

Fadli menilai lembaga BPIP ini tak terlalu diperlukan karena hanya menambah beban negara. Pernyataan pimpinannya sering membuat kegaduhan dan berpotensi memecah belah bangsa.

Alasan kelima, RUU ini dinilai Fadli tak punya urgensi sama sekali. Terlebih saat ini, Indonesia sedang menghadapi bencana pandemi Covid-19. 

"Namun, dengan munculnya RUU ini, kita kembali bertengkar soal ideologi, kotak pandora yang sebenarnya secara formil sudah kita tutup sejak lama," kata dia. 

Menurut Fadli, RUU ini malah bisa membuka luka-luka lama sejarah dan akhirnya memecah belah. Sebagian masyarakat curiga RUU ini digunakan untuk menyusupkan kepentingan kaum komunis atau PKI yang sudah dilarang. 

Tak dicantumkannya TAP MPRS No. XXV/1966 tentang Pembubaran PKI sebagai konsideran malah makin memupuk penolakan sebagian masyarakat.  "Dengan lima alasan tadi, saya kira pembahasan mengenai RUU HIP tak perlu lagi diteruskan. Jika ada yang ingin memperkuat pelembagaan BPIP, sebaiknya dibuat saja undang-undang tentang BPIP, jangan malah bikin undang-undang mengenai Pancasila," ujar Fadli menegaskan.  

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement