REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Plt Jubir KPK, Ali Fikri menilai pernyataan Koordinator Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI) Boyamin Saiman menandakan ketidakpahaman terhadap perkara. Sebelumnya, Boyamin mengkritisi operasi tangkap tangan (OTT) KPK dalam perkara pemberian uang tunjangan hari raya (THR) di lingkungan Kemendikbud.
Ali menegaskan, tangkap tangan terhadap Kabag Kepegawaian Universitas Negeri Jakarta (UNJ) digelar atas permintaan bantuan Inspektorat Jenderal (Itjen ) Kemendikbud yang menduga adanya pemberian sejumlah uang THR kepada pejabat dan pegawai Kemendikbud. Pemberian THR itu diduga atas perintah rektor UNJ.
"Pernyataan Boyamin Saiman menunjukkan yang bersangkutan tidak paham akan konstruksi kasus namun telanjur sudah membangun opini yang keliru kepada masyarakat," kata Ali, Jumat (22/5).
Dalam OTT terhadap Dwi Achmad Noor itu, KPK turut menyita barang bukti berupa uang sebesar 1.200 dolar AS dan Rp 27,5 juta. Namun, kata Ali, Dwi Achmad Noor bukan termasuk penyelenggara negara menurut UU, sehingga perkaranya kemudian dilimpahkan ke Polda Metro Jaya.
"Yang tertangkap menurut UU bukan masuk kategori penyelenggara negara," katanya.
Ali mengklaim, KPK sering melimpahkan kasus kepada penegak hukum lain baik kepolisian maupun kejaksaan. Apalagi, setelah meminta keterangan sejumlah pihak, KPK tidak menemukan perbuatan pelaku penyelenggara negara dalam kasus THR pejabat Kemdikbud tersebut.
"Kita tahu bahwa aparat penegak hukum lain ketika menangani perkara korupsi tidak dibatasi adanya unsur melibatkan PN, berbeda dengan KPK yang ada batadan Pasal 11 UU KPK. Ini perlu kami sampaikan agar Boyamin Saiman juga paham soal ini," katanya.
Ali berjanji, KPK bakal kembali menangani kasus tersebut jika dalam perkembangan penanganan perkara ditemukan adanya unsur penyelenggara negara yang terlibat.
"Perlu kami sampaikan setelah penyerahan kasus, sangat dimungkinkan setelah dilakukan penyelidikan lebih mendalam," tegas Ali.
Sebelumnya, Boyamin Saiman menilai KPK telah mempermalukan diri sendiri terkait OTT terhadap Kabag Kepegawaian Universitas Negeri Jakarta (UNJ), Dwi Achmad Noor. Menurut Boyamin, selain nilai barang bukti yang terbilang kecil, yakni hanya sekitar Rp 43 juta, KPK juga langsung melimpahkan kasus ini ke kepolisian.
"OTT KPK ini sungguh mempertontonkan tidak profesional serta mempermalukan KPK sendiri. OTT ini sangat tidak berkelas dan sangat memalukan karena KPK saat ini OTT hanya level kampus, hanya uang tunjangan hari raya atau THR Rp 43 juta uang dan lebih parah lagi kemudian penanganannya diserahkan kepada polisi dengan alasan tidak ada penyelenggara negaranya," kata Boyamin di Jakarta, Jumat (22/5).
Boyamin mempertanyakan tidak adanya unsur penyelenggara negara yang menjadi alasan KPK melimpahkan kasus ini ke Kepolisian. Menurutnya, Rektor UNJ yang diduga memerintahkan mengumpulkan uang THR untuk diserahkan kepada pejabat dan pegawai Kemendikbud merupakan penyelenggara negara.
Setidaknya, rektor yang merupakan jabatan tinggi di Kementerian Pendidikan memiliki kewajiban untuk menyerahkan Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) ke KPK.
"Rektor adalah Penyelenggara Negara karena ada kewajiban laporkan hartanya ke LHKPN. Kalau KPK menyatakan tidak ada penyelenggara negara maka berarti telah ada teori baru made in KPK new normal akibat Corona," kata Boyamin.
Sehingga , jika memang KPK menyebut tidak ada penyelenggara negara yang terlibat dalam kasus ini, Boyamin pun mempertanyakan proses hukum yang akan dilakukan kepolisian nantinya. Menurut Boyamin, kepolisian akan kesulitan menangani kasus ini jika menggunakan pasal pungutan liar.
"Dengan melimpahkan begitu saja ke Polri itu namanya lempar masalah ke aparat penegak hukum lainnya," katanya.
Padahal, KPK merupakan lembaga penegak hukum yang sangat berpengalaman dalam menggelar OTT. Namun, dalam OTT terhadap pejabat UNJ, terlihat KPK tidak memiliki perencanaan dan pendalaman dengan baik atas informasi yang masuk.
Hal ini yang membuat OTT kemarin disebut Boyamin sangat jelek. Padahal, sebelum OTT dilakukan, KPK biasanya membahas dan mendalami hingga rinci informasi dugaan korupsi yang diterimanya dari masyarakat.
"Setiap informasi biasanya oleh KPK dibahas dan dalami sampai berdarah-darah dan sangat detail, mulai dari penerimaan Pengaduan masyarakat sampai dengan keputusan untuk OTT, baik menyangkut siapa Penyelenggara Negara, apa modusnya sampai dengan apakah suap atau gratifikasi. Sehingga ketika sudah OTT maka tidak ada istilah tidak ditemukan penyelenggara negaranya," katanya.
Untuk itu, Boyamin menilai OTT terhadap pejabat UNJ dilakukan KPK untuk sekadar mencari sensasi dan agar dianggap sudah bekerja. Boyamin memastikan pihaknya akan melaporkan buruknya kinerja KPK dalam OTT tersebut kepada Dewan Pengawas.
"Kami akan segera membuat pengaduan kepada Dewan Pengawas KPK atas amburadulnya OTT ini," tegasnya.