Rabu 15 Apr 2020 18:39 WIB

Menimbang Wacana Bansos untuk Jangka Menengah Panjang

Bansos jangka menengah panjang dibutuhkan untuk menormalisasi keadaan.

Bantuan sosial (Bansos) yang diberikan oleh pemprov DKI Jakarta siap didistribusikan di Wilayah RW 13, Keluarahan Pegangasaan Dua, Kelapa Gading, Jakarta, Sabtu (11/4). Pemprov DKI Jakarta menyalurkan bansos yang dilakukan dengan pengantaran langsung ke rumah bagi warga tidak mampu dan rentan akibat terdampak Covid-19
Foto: Republika/Prayogi
Bantuan sosial (Bansos) yang diberikan oleh pemprov DKI Jakarta siap didistribusikan di Wilayah RW 13, Keluarahan Pegangasaan Dua, Kelapa Gading, Jakarta, Sabtu (11/4). Pemprov DKI Jakarta menyalurkan bansos yang dilakukan dengan pengantaran langsung ke rumah bagi warga tidak mampu dan rentan akibat terdampak Covid-19

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Adinda Pryanka, Antara

Bantuan sosial (bansos) sudah mulai digulirkan pemerintah sebagai upaya membantu masyarakat yang paling terdampak ekonomi Covid-19. Bansos dari pemerintah saat ini dicanangkan untuk diberikan selama tiga bulan, muncul wacana memperpanjang pemberian bansos agar masyarakat rentan miskin bisa bertahan hidup.

Baca Juga

Pengamat ekonomi dari Centre for Strategic and International Studies (CSIS) Fajar Hirawan mendorong penyiapan skema bansos jangka menengah-panjang. "Bansos tiga bulan mungkin mampu menolong sementara atau dalam jangka pendek, akan tetapi juga yang harus dipikirkan bagaimana jangka menengah dan panjangnya untuk menormalisasi keadaan," katanya dihubungi di Jakarta, Rabu (15/4).

Alasannya, kata dia, karena belum diketahui kapan pandemi penyakit yang disebabkan virus SARS-CoV-2 ini berakhir, untuk itu perlu ada formulasi kebijakan bansos. Bank Dunia melalui laporan berjudul Aspiring Indonesia-Expanding the Middle Class pada Januari 2020 menyebutkan sekitar 115 juta masyarakat Indonesia sudah keluar dari kemiskinan.

Meski begitu, dalam laporan yang dikeluarkan sebelum Covid-19 melanda Indonesia itu, secara ekonomi 115 juta masyarakat di Tanah Air tersebut dinilai masih belum cukup aman. Sehingga mereka bisa rentan kembali miskin.

Menurut doktor ekonomi dari Universitas Sydney itu, setidaknya ada dua kelompok masyarakat yang sangat rentan kembali ke zona miskin. Yakni pekerja informal dan buruh seperti di manufaktur dan jasa.

Maka dari itu, lanjut dia, memang perlu optimalisasi skema bantuan sosial yang harus memastikan jangkauan yang merata dan tepat sasaran siapa saja yang berhak menerima bantuan sosial tersebut. Selain itu, kata dia, perlu ada pengawasan dari data yang telah tersedia di Kemensos dengan pendataan mandiri.

"Basis Data Terpadu sebagai dasar pembagian bansos perlu dimutakhirkan dan sistem pendataannya mungkin juga harus mempertimbangkan mekanisme pendataan mandiri," katanya.

Senada dengan Fajar, pengamat ekonomi dari Center of Reform on Economics (Core) Indonesia Piter Abdullah mengatakan pemberian bansos selama tiga bulan merupakan asumsi wabah ini bisa berhenti dalam waktu tiga bulan. Namun, lanjut dia, jika hingga tiga bulan pandemi belum terakhir, maka pemerintah perlu memperpanjang bantuan sosial kepada masyarakat terdampak.

"Kita tidak tahu persis berapa lama, jadi tiga bulan dipakai sebagai asumsi. Jika belum berhenti wabahnya, tidak mungkin tidak diperpanjang, sebab itu (bansos) harus diperpanjang," katanya.

Sejauh ini pencairan dana bansos dalam bentuk Program Keluarga Harapan (PKH) sudah mencapai 43 persen dari keseluruhan pagu anggaran 2020. Sampai dengan pertengahan April, pemerintah telah mencairkan Rp 16,4 triliun dari total pagu sebesa Rp 37,4 triliun.

Kepala Biro Komunikasi dan Layanan Informasi Kementerian Keuangan (Kemenkeu) Rahayu Puspasari mengatakan, pemerintah kini fokus mempercepat pencairan anggaran bantuan sosial untuk masyarakat terdampak Covid-19. Upaya ini diharapkan dapat membantu masyarakat miskin dalam memenuhi kebutuhan pangan dan menjaga daya beli, terutama jelang bulan Ramadan.

Data penyaluran PKH sudah termasuk target Keluarga Penerima Manfaat (KPM) tambahan selama masa darurat pandemi Covid-19. "Ada 800 ribu KPM tambahan," ujar Puspa dalam keterangan resmi yang diterima Republika, Rabu (15/4).

Percepatan juga dilakukan terhadap Program Sembako yang penyalurannya sudah mencapai Rp 1,4 triliun. Nominal tersebut mencakup hingga periode penyaluran Mei 2020. Data ini juga termasuk peluasan target KPM pada masa darurat Covid-19.

Selain itu, Puspa menambahkan, pemerintah mempercepat realisasi Program Indonesia Pintar/Kartu Indonesia Pintar (PIP/KIP) Kuliah/Bidikmisi Kemendikbud yang memiliki pagu sebesar Rp 15,76 triliun.

Pada Rabu (8/4), Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara (KPPN) Jakarta III telah mencairkan Bantuan PIP Sekolah Menengah Pertama sebesar Rp 12,25 miliar yang diperuntukkan bagi 16.300 siswa. Sementara, Bidikmisi sebesar Rp 61 miliar sudah diberikan untuk 10.100 mahasiswa.

Untuk realisasi Program PIP/KIP Kuliah/Bidikmisi Kementerian Agama, pemerintah telah mencairkan Bantuan PIP Madrasah Tahap I (MI, MTs dan MA) pada Senin (13/4) sebesar Rp 182,28 miliar. Penyaluran dilakukan melalui KPPN Jakarta IV yang diperuntukkan bagi 530.591 siswa.

Puspa mengatakan, pemerintah juga memiliki beberapa Kegiatan Padat Karya Tunai di beberapa kementerian. Program ini bertujuan memberdayakan masyarakat desa, terutama yang terdampak dari Covid-19.

Misalnya saja di Kementerian Pertanian yang memiliki anggaran Rp 1,6 miliar dengan target pelaksanaan kegiatan pada April sampai Agustus 2020. "Refocusing kegiatan yang dilakukan salah satunya ialah fasilitas bantuan ayam/kambing/domba untuk penanganan dampak penyebaran Covid-19 dan mendukung ketersediaan pangan," ujar Puspa.

Sementara itu, Kementerian Perhubungan menganggarkan Rp 1,87 triliun untuk kegiatan padat karya tunai. Sebesar Rp 1,38 miliar di antaranya untuk perhubungan laut dan Rp 226,1 miliar untuk perhubungan udara.

Pada Kementerian Kelautan dan Perikanan, ada total alokasi Rp 95,58 miliar untuk pengelolaan irigasi tambak/kolam (pitap), minapadi, penanaman mangrove, dan integrasi lahan pegaraman. Sedangkan, di Kementerian PUPR, terdapat Rp 10,23 triliun, termasuk diperuntukkan bagi sumber daya air sebesar (Rp 2,29 triliun) dan penyediaan perumahan (Rp 4,81 triliun).

Pandemi corona memang dipastikan berdampak berat pada pertumbuhan ekonomi di Tanah Air. Tak heran bila Presiden Joko Widodo telah menyebut target ekonomi Indonesia akan terkoreksi tajam akibatnya.

Ekonomi Indonesia saat ini sangat bergantung pada efektivitas upaya penanganan Covid-19 dan stimulus yang sudah direncanakan pemerintah. Sebulan setelah pelaksanaan kebijakan pembatasan jarak secara fisik Kemenaker mencatat 2,8 juta pekerja sudah terkena PHK dan dirumahkan.

Center of Reform on Economic (CORE) Indonesia memprediksi akan ada peningkatan dalam jumlah pengangguran terbuka pada triwulan II 2020 melalui tiga skenario yaitu ringan, sedang, dan berat. Ekonom CORE Akhmad Akbar Susamto mengatakan pandemi yang terus mengalami eskalasi di Indonesia menjadi faktor pada potensi meningkatnya jumlah pengangguran dalam skala besar.

“Dalam beberapa pekan terakhir gelombang PHK semakin merebak di sejumlah sektor seperti manufaktur, pariwisata, transportasi, perdagangan, konstruksi, dan lain-lain,” katanya dalam keterangan tertulis.

Skenario ringan tersebut adalah potensi tambahan jumlah pengangguran terbuka secara nasional mencapai 4,25 juta orang atau meningkat 8,2 persen yang terutama terjadi di Jawa sebanyak 3,4 juta orang. Skenario ringan itu berdasarkan asumsi penyebaran Covid-19 semakin luas pada Mei 2020 tetapi tidak sampai memburuk sehingga kebijakan PSBB hanya diterapkan di wilayah tertentu di Jawa dan satu atau dua kota di luar Jawa.

Skenario sedangnya adalah akan ada potensi tambahan jumlah pengangguran terbuka sebanyak 6,68 juta orang atau meningkat 9,79 persen terutama terjadi di Jawa mencapai 5,06 juta orang. Skenario sedang dibangun dengan asumsi penyebaran Covid-19 lebih meluas dan kebijakan PSBB diberlakukan di banyak wilayah di Jawa dan beberapa kota di luar Jawa.

Skenario beratnya adalah akan ada potensi tambahan jumlah pengangguran terbuka sebanyak 9,35 juta orang atau meningkat 11,47 persen dengan 6,94 juta orang dari Jawa. Skenario berat didasarkan pada asumsi penyebaran telah tak terbendung dan kebijakan PSBB diberlakukan secara luas baik di Jawa maupun luar Jawa dengan standar yang sangat ketat.

Akbar menyebutkan status pekerjaan yang diasumsikan mengalami dampak paling parah adalah pekerja lepas, pengusaha berskala mikro, pengusaha dengan dibantu buruh tidak tetap atau tidak dibayar, dan pekerja keluarga atau tak dibayar.

Dalam hal ini, lapangan usaha yang diasumsikan mengalami dampak paling parah adalah penyedia akomodasi, transportasi, makanan dan minuman, pergudangan serta perdagangan baik berskala besar maupun eceran.

Sebaliknya, lapangan usaha yang diasumsikan mengalami dampak paling ringan adalah jasa kesehatan, kegiatan sosial, jasa administrasi pemerintahan, pertahanan, dan jaminan sosial wajib.

“Pasalnya daya tahan ekonomi pekerja di sektor informal relatif rapuh terutama yang bergantung pada penghasilan harian, mobilitas orang, dan aktivitas orang-orang yang bekerja di sektor formal,” katanya. Jumlah pekerja sektor informal di Indonesia lebih besar dibanding pekerja sektor formal yakni mencapai 71,7 juta orang atau 56,7 persen dari total jumlah tenaga kerja dengan mayoritas bekerja pada usaha skala mikro.

Sementara jika dilihat dari sisi wilayah diasumsikan bahwa DKI Jakarta akan mengalami dampak paling parah, kemudian Jawa Barat, dan provinsi lain di Jawa dengan perkiraan dampak pandemi Covid-19 lebih besar di perkotaan dibandingkan di perdesaan. “Dampak pandemi Covid-19 akan berbeda untuk masing-masing lapangan usaha, status pekerjaan, serta wilayah baik dilihat dari lokasi provinsi maupun kota dan desa,” ujarnya.

photo
Postur APBN 2020 untuk Pandemi Covid-19 - (Tim Infografis Republika.co.id)

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement