REPUBLIKA.CO.ID, oleh Amri Amrullah, Antara
Dampak ekonomi akibat Covid-19 terus bergulir. Gelombang pemutusan hubungan kerja atau PHK tidak bisa terhindari ketika dunia dihadapi dengan keputusan harus melakukan pembatasan jarak dan berada di rumah.
Organisasi Buruh Internasional (International Labour Organization/ILO) memperkirakan krisis Covid-19 dapat memusnahkan 6,7 persen jam kerja secara global dalam kuartal kedua tahun 2020. Jumlah tersebut setara dengan 195 juta pekerja penuh waktu.
Direktur Jenderal ILO, Guy Ryder, dalam konferensi video yang digelar secara daring pada Selasa (7/4) malam waktu Jakarta, menyebutkan dari ILO telah menerapkan metodologi kompleks guna menghitung dampak dari pandemi Covid-19. Termasuk upaya-upaya yang harus diambil untuk menghentikan penyebarannya, terhadap dunia pekerjaan.
“Saya rasa angka-angka ini dapat menunjukkan bahwa dunia pekerjaan tengah menghadapi kesulitan yang sangat besar akibat pandemi ini,” kata Ryder.
Dia menjelaskan lebih lanjut bahwa pengurangan besar terjadi di beberapa area, termasuk di negara-negara Arab dengan 8,1 persen atau setara dengan lima juta pekerja penuh waktu. Lalu Eropa dengan 7,8 persen atau setara dengan 12 juta pekerja penuh waktu, dan kawasan Asia dan Pasifik dengan 7,2 persen atau 125 juta pekerja penuh waktu.
Sektor-sektor yang disebut paling terdampak, menurut laporan agensi PBB untuk buruh, adalah makanan dan akomodasi, aktivitas ritel dan penjualan grosir, kegiatan bisnis dan administratif, serta industri manufaktur.
“Apabila kita ambil jumlah agregat untuk pekerjaan di sektor-sektor tersebut, jumlahnya menjadi 37,5 persen dari pekerjaan global. Jadi ini dapat dikatakan sebagai ‘ujung tajam’ dari dampak pandemi yang dirasakan,” kata dia.
Terkait apa yang dapat dilakukan dalam merespons dampak yang dialami oleh dunia pekerjaan di dunia, Ryder mengatakan dampak jangka panjang dari apa yang terjadi saat ini sangat bergantung pada langkah komunitas internasional untuk mengecek penyebaran Covid-19, berapa lama penyebaran berlangsung dan sejauh apa virus akan menyebar.
Meski tidak ada kepastian yang bisa didapatkan dari faktor-faktor terkait virus tersebut, dia menegaskan pentingnya intervensi kebijakan dalam upaya untuk menstimulasi aktivitas ekonomi melalui kebijakan fiskal, serta kebijakan keuangan yang mengakomodasi bisnis-bisnis. Kebijakan untuk menghadapi konsekuensi sosial dan ekonomi dari pandemi ini juga menjadi salah satu hal yang digarisbawahi.
“Sangat jelas bahwa kita membutuhkan langkah-langkah tersebut dan kita sudah melihat (intervensi kebijakan) ini dilakukan di berbagai belahan dunia,” lanjutnya.
Meski demikian, dia mengatakan perlu lebih banyak intervensi khusus oleh pemerintah di dunia untuk mendukung bisnis-bisnis agar mereka dapat bertahan di tengah krisis, dan pada akhirnya dapat mempertahankan para pekerja mereka dan hubungan kerja dengan perusahaan.
“Langkah ini penting guna memastikan mereka tidak hanya bertahan namun juga bangkit dari krisis ini,” katanya.
Di daerah episentrum Covid-19 di Indonesia yakni Jakarta dampak ekonomi mulai dirasakan oleh para buruh dan karyawan. Berdasarkan pendataan yang dilakukan oleh Dinas Tenaga Kerja, Transmigrasi (Nakertrans) dan Energi DKI Jakarta mulai 2-4 April 2020 sebanyak 162.416 pekerja atau buruh mengalami pemutusan hubungan kerja (PHK) maupun dirumahkan.
Kepala Dinas Nakertrans dan Energi DKI Jakarta, Andri Yansyah merinci, sebanyak 132.297 pekerja atau buruh di 14.697 perusahaan dirumahkan. Kemudian, terdapat 30.137 pekerja dari 3.348 perusahaan yang di PHK.
"Sementara ini pendataan sudah ditutup sesuai arahan dari pemerintah pusat. Kami sudah menyampaikan untuk ada pendataan kembali karena mungkin masih banyak pekerja atau buruh yang belum terdata," ujarnya, Rabu (8/4).
Andri menjelaskan, saat ini data yang dihimpun Dinas Nakertrans dan Energi DKI Jakarta telah dilaporkan kepada pemerintah pusat dalam hal ini Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Republik Indonesia. "Kami tinggal menunggu tindak lanjut atau eksekusinya saja dari kementerian," terangnya.
Ia menambahkan, pendataan ini sesuai kebijakan yang dikeluarkan pemerintah pusat dalam rangka percepatan dan perluasan implementasi Program Kartu Prakerja melalui pelatihan keterampilan kerja dan pemberian insentif kepada para pekerja yang di PHK dan pekerja yang dirumahkan tapi tidak menerima upah (unpaid leave).
"Kuota pendataan untuk Jakarta 1.646.541, baru 162 ribu pekerja yang mendata. Kalau ada arahan lebih lanjut dari kementerian akan kami infokan lagi," terangnya.
Hingga saat ini, lanjut Andri Yansyah, pendataan masih terus dilakukan oleh Nakertrans dan Energi DKI Jakarta. Bahkan pihaknya juga membuka pengaduan bagi para pekerja dan karyawan yang terkena PHK sepihak tanpa upah yang ditentukan.
Andri menjelaskan, data tersebut nantinya akan dihimpun Dinas Nakertrans dan Energi DKI Jakarta untuk disampaikan kepada pemerintah pusat melalui Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian Republik Indonesia.
Pemerintah melakukan kebijakan percepatan dan perluasan implementasi Program Kartu Prakerja melalui pelatihan keterampilan kerja dan pemberian insentif kepada para pekerja yang di PHK dan pekerja yang dirumahkan tapi tidak menerima upah (unpaid leave).
"Kami minta mereka yang terdampak agar dapat mengisi data lengkap dan valid agar bisa dibantu," terangnya. Ia terus menyebarluaskan informasi pendataan daring ini melalui Whatsapp blast kepada serikat dan federasi pekerja, APINDO, KADIN, Dewan Pengupahan, dan ketua asosiasi lainnya.
Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI), Said Iqbal menyebut sudah memprediksi sejak awal gelombang PHK akibat Covid-19 ini. Said Iqbal menyebut akhirnya kekhawatiran PHK besar-besaran itu terbukti.
Menurut Said Iqbal, jika tidak ada upaya sungguh-sungguh dari pemerintah untuk mencegah PHK, dalam dua bulan ke depan industri otomotif, komponen otomotif, komponen elektronik, tekstil, garmen, dan sepatu juga bakal melakukan efisiensi dengan mengurangi pekerja.
"Bisa saja di DKI akan ada penambahan jumlahnya pekerja yang di PHK dari perusahaan garmen dan tekstil yang ada di wilayah Pulogadung, Cakung, Cilincing, hingga Marunda," lanjutnya.
Apalagi juga ada kabar, di Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Jawa Barat, saat ini sudah ribun orang buruh ter-PHK. "Baru-baru ini Disnakertrans Jawa Barat menyampaikan, sebanyak 40.433 pekerja dirumahkan dan 3.030 pekerja terkena PHK," tegas Said Iqbal
Saat ini, kata dia, ada dua ancaman serius yang dihadapi kaum buruh. Pertama, potensi hilangnya nyawa buruh karena masih diharuskan bekerja dan tidak diliburkan ketika yang lain melakukan physical distancing. Sedangkan yang kedua adalah darurat PHK yang akan mengancam puluhan hingga ratusan ribu buruh.
Ia menyebut industri yang akan terpukul adalah padat karya, seperti tekstil, sepatu, garmen, makanan, minuman, komponen elektronik, hingga komponen otomotif. Karena bahan baku berkurang, maka produksi akan menurun. "Ketika produksi menurun, maka berpotensi terjadi pengurangan karyawan dengan melakukan PHK," imbuhnya.
Apalagi sejak awal, industri pariwisata sudah terpukul. Mulai dari hotel, restoran, tempat-tempat wisata, bandara, pelabuhan, pengunjungnya sudah menurun drastis akibat corona. Bahkan sudah banyak yang merumahkan pekerja. "Karena itu, jangan heran saat ini ada kekhawatiran, dalam waktu dekat akan terjadi PHK besar-besaran di industri pariwisata," kata Said Iqbal mengingatkan.
Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Disnakertrans) Provinsi Jawa Barat (Jabar) menyatakan hingga 5 April 2019, tercatat ada 5.047 buruh terkena PHK. "Hingga 5 April 2020 ini, jumlah perusahaan atau industri terdampak Covid-19 sebanyak 1.476 perusahaan/industri. Dan jumlah pekerja/buruh terdampak Covid-19 sebanyak 53.465 orang kemudian 5.047 buruh terkena PHK," kata Kepala Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Jabar M Ade Afriandi, Rabu (8/4).
Ade telah menyampaikan verifikasi data perusahaan dan buruh yang terdampak Covid-19 di Provinsi Jabar kepada Sekretaris Jenderal Kementerian Tenaga Kerja. Ia melanjutkan dalam laporkan tersebut dinyatakan bahwa jumlah pekerja/buruh di Jabar yang diliburkan karena terdampak corona sebanyak 34.365 orang dan jumlah pekerja/buruh yang dirumahkan sebanyak 14.053 orang.
"Untuk yang dirumahkan berarti perusahaan sudah terdampak ada kekurangan finansial. Kami dorong tidak ada PHK. Dirumahkan itu artinya ada tanggung jawab perusahaan memberikan upah, tetapi besarannya hasil kesepakatan perundingan perusahaan dan serikat pekerja," kata dia.
Menurut dia Disnakertrans Jabar sejak 17 Maret hingga 27 Maret 2020 telah melakukan pemantauan terhadap perusahaan terkait dampak Covid-19 dan hasilnya banyak perusahaan atau industri di Jabar merasakan dampaknya.
"Dampak penurunan produktivitas dikarenakan bahan baku karena impor tidak masuk order dan sebagainya. Ini artinya dari 502 perusahaan yang dipantau dari periode 17 sampai 27 Maret itu sebanyak 88,6 persen terkapar gitu ya. Dari situ kita berpikir bahwa Covid-19 ini pasti akan berdampak kepada semua," katanya.
Lebih lanjut ia mengatakan salah satu antisipasi awal menyikapi dampak Covid-19 terhadap buruh terdampak yakni dengan menyediakan program jaminan sosial dari Pemprov Jabar sebesar Rp 500 ribu per bulan.
"Kemudian ada pula program Kartu Prakerja dari pemerintah pusat. Jadi, instruksi Gubernur kami jalankan selain melakukan pendataan dan pengawasannya," kata dia.