Selasa 10 Mar 2020 14:41 WIB

Pemerintah Harus Batalkan Kenaikan Iuran BPJS Kesehatan

Putusan MA yang membatalkan kenaikan iuran BPJS Kesehatan final dan mengikat.

Petugas mencuci tangan menggunakan cairan antiseptik di Kantor Pelayanan Kantor Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan Jakarta Pusat, Matraman, Jakarta, Senin (9/3/2020).(Antara/M Risyal Hidayat)
Foto: Antara/M Risyal Hidayat
Petugas mencuci tangan menggunakan cairan antiseptik di Kantor Pelayanan Kantor Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan Jakarta Pusat, Matraman, Jakarta, Senin (9/3/2020).(Antara/M Risyal Hidayat)

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Ronggo Astungkuro, Mabruroh, Adinda Pryanka

Mahkamah Agung (MA) mengabulkan permohonan uji materi terhadap Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 75 Tahun 2019 tentang Jaminan Kesehatan. Pemerintah harus mematuhi putusan MA yang final dan mengikat ini dengan tidak menaikkan iuran BPJS Kesehatan.

Baca Juga

"Menerima dan mengabulkan sebagian permohonan Komunitas Pasien Cuci Darah Indonesia (KPCDI) tersebut," ujar juru bicara MA, Hakim Agung Andi Samsan Nganro, saat dikonfirmasi, Senin (9/3).

Perkara Nomor 7 P/HUM/2020 perkara Hak Uji Materiil itu diputus pada Kamis (27/2) lalu. MA menyatakan Pasal 34 ayat 1 dan 2 Perpres Nomor 75 Tahun 2019 bertentangan dengan sejumlah ketentuan perundang-undangan yang lebih tinggi, di antaranya yang terdapat pada UUD 1945, UU Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional, dan yang lainnya.

"Pasal 34 ayat 1 dan 2 Perpres RI Nomor 75 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas Perpres Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan tidak mempunyai hukum mengikat," katanya.

Berikut bunyi pasal dalam Perpres 75/2019 yang dinyatakan tidak mempunyai hukum mengikat:

Pasal 34

(1) Iuran bagi Peserta PBPU dan Peserta BP yaitu sebesar:

a. Rp 42.000,00 (empat puluh dua ribu rupiah) per orang per bulan dengan manfaat pelayanan di ruang perawatan Kelas III.

b. Rp 110.000,00 (seratus sepuluh ribu rupiah) per orang per bulan dengan manfaat pelayanan di ruang perawatan Kelas II; atau

c. Rp 160.000,00 (seratus enam puluh ribu rupiah) per orang per bulan dengan Manfaat pelayanan di ruang perawatan Kelas I.

(2) Besaran Iuran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 2020

Sebelumnya, KPCDI mendaftarkan hak uji materiil Perpres Nomor 75 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Peraturan Presiden Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan ke Mahkamah Agung, Jakarta Pusat, Kamis (05/12). Pengacara KPCDI, Rusdianto Matulatuwa berpendapat, kebijakan kenaikkan iuran BPJS Kesehatan sebesar 100 persen menuai penolakan dari sejumlah pihak salah satunya dari KPCDI.

“Angka kenaikan iuran BPJS Kesehatan sebesar 100 persen menimbulkan peserta bertanya-tanya darimana angka tersebut didapat, sedangkan kenaikkan penghasilan tidak sampai 10 persen setiap tahun,” kata dia dikutip dari laman KPCDI, Senin (9/3).

Rusdianto menegaskan, Iuran BPJS naik 100 persen tanpa ada alasan logis, dan sangat tidak manusiawi. Menurutnya, parameter negara ketika ingin menghitung suatu kekuatan daya beli masyarakat disesuaikan dengan tingkat inflasi.

"Nah, ini kenaikkan (inflasi) tidak sampai lima persen, tapi iuran BPJS dinaikkan 100 persen, ini kan tidak masuk akal,” katanya.

Menurut Rusdianto, Perpres 75 Tahun 2019 menjadi bertentangan dengan Undang Undang Nomor 40 tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional dan Undang Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial.

“Ya undang-undangnya kan mengatakan besaran iuran itu ditetapkan secara berkala sesuai perkembangan sosial, ekonomi, dan kebutuhan dasar hidup yang layak,” jelas dia.

[video] Alasan Kemenkeu Menyetujui Kenaikan Iuran BPJS Kesehatan

Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan, Mahfud MD, menyatakan pemerintah akan mengikuti putusan MA tentang iuran BPJS Kesehatan. Menurutnya, putusan uji materi MA merupakan putusan yang final dan tak bisa dibanding lagi.

"Kalau judicial review (uji materi) itu sekali diputus final dan mengikat. Oleh sebab itu ya kita ikuti saja. Pemerintah kan tidak boleh melawan putusan pengadilan," ujar Mahfud di kantornya, Gambir, Jakarta Pusat, Senin (9/3).

Ia menjelaskan, putusan uji materi MA adalah putusan yang final. Menurut dia, tidak ada banding yang dapat dilakukan terhadap hasil uji materi. Itu berbeda dengan gugatan perkara perdata atau pidana yang masih bisa dilakukan peninjauan kembali (PK).

Menanggapi putusan MA, BPJS Kesehatan menyatakan akan mengikuti putusan pemerintah. "Pada prinsipnya BPJS Kesehatan akan mengikuti setiap keputusan resmi dari Pemerintah,” kata Kepala Humas BPJS Kesehatan, M. Iqbal Anas Ma’ruf dalam siaran pers yang diterima Republika, Senin (9/3).

Menteri Keuangan Sri Mulyani menyebutkan, Perpres Nomor 75 Tahun 2019 tentang Perubahan Perpres Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan memberikan pengaruh ke seluruh masyarakat Indonesia. Artinya, ketika keputusan tersebut dibatalkan, ikut berdampak ke masyarakat sekaligus sustainabilitas dari BPJS Kesehatan sendiri.

Sri mengakui, keputusan Perpres 75/2019 memang tidak akan memuaskan semua pihak. Tetapi, kebijakan itu sudah dipertimbangkan oleh pemerintah berdasarkan seluruh aspek.

"Pertama, aspek dari keberlangsungan program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). Bagaimana bisa tetap memberikan pelayanan dengan memiliki sustainabilitas," ujarnya di Gedung Direktorat Jenderal Pajak Kemenkeu, Jakarta, Selasa (10/3).

Pertimbangan kedua, aspek keadilan. Sri menjelaskan, terdapat 96,8 juta masyarakat yang dianggap tidak mampu, ditanggung oleh pemerintah. Sementara itu, mereka yang mampu diminta juga untuk ikut bergotong-royong sebagai peserta mandiri yang terbagi menjadi tiga kelas. Pembagian beban juga diberikan ke swasta serta TNI, Polri dan Aparatur Sipil Negara (ASN).

Sri menuturkan, semuanya dihitung dalam rangka untuk menjaga sustainabilitas sistem JKN sekaligus memastikan masyarakat yang membutuhkan layanan ini dapat terfasilitasi. "Kita melihat seluruh sistem," tuturnya.

Sri memastikan, pemerintah akan terus memantau dampak dari keputusan pencabutan kenaikan iuran BPJS Kesehatan yang dilakukan oleh MA, Senin (9/3). Ia optimistis, tujuan kebijakan ini sama-sama baik. Tetapi, apabila memang dibutuhkan ada kegotongroyongan, pihaknya perlu membuat rumusan yang baru lagi.

Sri menyebutkan, putusan MA untuk membatalkan kenaikan iuran BPJS Kesehatan sudah sampai di tangan Presiden Joko Widodo (Jokowi). Pemerintah, terutama Kemenkeu, pun segera mempelajari isi keputusan dan kemungkinan implikasinya kepada keuangan negara.

Hanya saja, Sri menekankan, masyarakat harus memahami bahwa konsekuensi dari pencabutan Perpres 75/2019 bersifat besar terhadap JKN. Sebab, apabila berbicara sebuah ekosistem JKN, pencabutan satu sistem dapat berdampak ke seluruh sistem.

Sri juga memastikan, pemerintah siap melakukan langkah-langkah mengamankan JKN secara berkelanjutan. "Kita terus coba membangun ekosistem JKN yang sehat dan berkeadilan, sustain," katanya.

photo
Iuran BPJS Kesehatan - (Infografis Republika.co.id)

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement