Jumat 28 Feb 2020 04:35 WIB

Pemilu Tetap Serentak, PDIP Minta tak Seperti 2019

Salah satu alternatif pemilu yang ditawarkan yakni pemilihan langsung berjenjang.

Rep: Arif Satrio Nugroho/ Red: Teguh Firmansyah
Djarot Saiful Hidayat.
Foto: Republika/Nawir Arsyad Akbar
Djarot Saiful Hidayat.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Anggota Komisi II DPR RI Fraksi PDIP Djarot Saiful Hidayat menyatakan setuju keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait pemilu tetap serentak dan opsi-opsi yang ditawarkannya. Namun, ia berharap pemilu nantinya tak seperti pelaksanaan Pemilu 2019.

"Yang kita jaga adalah jangan sampai merepotkan seperti kemarin, yang banyak korban, menimbulkan banyak korban jiwa dan kerumitan ya. Tentang keserentakan kita setuju," ujar Djarot di Senayan, Jakarta, pada Kamis (27/2).

Baca Juga

Djarot mencontohkan alternatif pemisahan Pemilu dengan cara berjenjang yakni Presiden bersama sama dengan DPR RI dan DPD. Kemudian dalam waktu berikutnya dilakukan pemilu di tingkat lokal baik melalui pemilihan DPRD provinsi maupun DPRD kabupaten kota. .

Djarot menegaskan, saat ini Komisi II aKan melakukan pembahasan secara menyeluruh. Pembahasan tersebut termasuk opsi-opsi yang ditawarkan MK dalam memutus gugatan Undang-Undang Pemilu.

"Makanya nanti akan kita kaji secara mendalam itu adalah fatwa dari Mahkamah Konstitusi yang tentunya kita harus kaji betul dengan beberapa opsi itu dengan tidak mengurangi aspek keserentakan itu," ujar eks Gubernur DKI Jakarta ini.

Menurut Djarot, revisi UU Pemilu bisa saja mulai dibahas pada 2021 untuk kepentingan 2024. Sehingga, bila susah selesai, maka DPR akan segera melakukan pembahasan.

Mahkamah Konstitusi (MK) menolak permohonan Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) terkait pemisahan pemilihan umum (pemilu) antara nasional (Pilpres, Pileg DPR dan DPD) dan lokal (kepala daerah dan DPRD).

Permohonan perkara nomor 55/PUU-XVII/2019 itu terkait uji materi Undang-Undang tentang Pemilu dan UU tentang Pilkada.

"Amar putusan, mengadili dalam provisi menolak permohonan provisi pemohon dalam pokok permohonan menolak permohonan pemohon untuk seluruhnya," ujar Ketua Majelis Hakim Konstitusi Anwar Usman dalam sidang pembacaan putusan di gedung MK, Jakarta Pusat, Rabu (26/2).

Dalam pertimbangannya, Anggota Majelis Hakim Konstitusi Saldi Isra mengatakan, permohonan itu ditolak karena MK tak berwenang menentukan satu desain pemilu, bahkan berpotensi menimbulkan permasalahan dalam pelaksanaannya. Sebab, putusan MK bersifat akhir dan mengikat.

MK juga menyebutkan enam alternatif beberapa model pemilu tanpa mengubah keserentakan pilpres, DPR, dan DPD. Di antaranya model pemilu yang telah dilaksanakan pada Pemilu 2019 lalu maupun pemilu dengan memisahkan pilpres, DPR, dan DPD dengan pemilihan kepala daerah dan DPRD.

Satu model yang disebutkan juga sebenarnya diajukan Perludem yakni pemilu serentak nasional untuk memilih anggota DPR, DPD, presiden dan wakil presiden, kemudian beberapa waktu setelahnya dilakukan pemilihan umum serentak lokal untuk memilih anggota DPRD provinsi, DPRD kabupaten/kota, pemilihan gubernur, dan bupati/wali kota.

"Pilihan-pilihan lainnya sepanjang tetap menjaga sifat keserentakan pemilihan umum untuk memilih anggota DPR, DPD, dan presiden dan wakil presiden," kata Saldi.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement