Kamis 27 Feb 2020 14:12 WIB

Larangan Rekam, Pengadilan Tetap Perlu Pertimbangkan Hal Ini

Misalnya, sidang pembacaan vonis mungkin perlu diberikan izin untuk perekaman.

Rep: Mimi Kartika/ Red: Ratna Puspita
Anggota Ombudsman RI Adrianus Meliala
Foto: Republika/Prayogi
Anggota Ombudsman RI Adrianus Meliala

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Anggota Ombudsman RI Adrianus Meliala mendukung langkah Mahkamah Agung (MA) RI melarang pengambilan foto, rekaman suara, dan rekaman televisi tanpa seizin Ketua Pengadilan Negeri yang bersangkutan. Akan tetapi, kata dia, pengadilan dapat menyesuaikan aturan itu dengan mempertimbangkan jenis perkara yang disidangkan untuk memberikan izin atau tidak.

"Sebaiknya, walau pada prinsipnya jangan ada perekaman, namun di lapangan bisa dilakukan penyesuaian dengan mempertimbangkan jenis perkara yang sedang disidangkan, tersangkanya, tahapannya," ujar Adrianus dalam pesan singkat kepada Republika.co.id, Kamis (27/2).

Baca Juga

Misalnya, sidang pembacaan vonis mungkin perlu diberikan izin untuk perekaman. Dengan demikian, menurut dia, dapat menguji keluasan wawasan dan integritas para ketua Pengadilan Negeri maupun Pengadilan Tinggi.

Adrianus menilai ruang sidang pengadilan adalah tempat yang sakral dan harus kondusif bagi para hakim. Meskipun ada keinginan masyarakat mengakses jalannya persidangan secara langsung melalui pemberitaan jurnalis, siaran televisi contohnya.

Ia menilai, apabila pengambilan foto, perekaman suaran, dan perekaman video dilakukan tanpa seizin ketua pengadilan maka akan ada sisi negatif yang timbul. Bisa saja ada pihak yang memotret atau merekam proses persidangan lalu menyebarkannya disertai narasi yang tak sesuai fakta.

"Tapi di pihak lain langsung dipotret langsung disebarkan tanpa mengerti konteks persidangan yang sedang berlangsung, dikhawatirkan akan menimbulkan distorsi," kata Adrianus. 

Ia pun mencontohkan tata tertib yang berlaku dalam pengadilan di Amerika Serikat dan Inggris. Kedua negara itu menganut sistem peradilan adversarial, sehingga tak boleh ada kamera untuk mengambil gambar.

Dengan demikian, orang yang ingin mengabadikan proses persidangan hanya boleh melukis di ruang sidang. Sketsa itu dapat dijadikan informasi bagi publik.

"Itu orang enggak boleh bawa kamera untuk memotret, tapi orang boleh melukis dibuat sketsa. Lalu di luar jadi public knowledge. Nah saya kira saya mendukung tuh, agar tak kemudian menimbulkan distorsi di pengadilan," tutur Adrianus.

Meskipun ada aturan agar persidangan dibuka untuk umum, menurut dia, perlu diperhatikan perlindungan pihak korban atau individu yang tidak boleh dirugikan dalam pengadilan. Hal ini juga yang membuat perbedaan persidangan di Mahkamah Konstitusi (MK).

"MK kan tidak menyidangkan individu, korbannya, atau yang dirugikan, juga bukan individu. Yang perlu dilindungi kan individu," lanjut Adrianus.

Sebelumnya, terbit Surat Edaran MA Nomor 2 Tahun 2020 tentang Tata Tertib Menghadiri Persidangan yang ditetapkan pada 7 Februari 2020 lalu oleh Direktur Jenderal Badan Peradilan Umum. Surat ini mengatur tata tertib umum dan tata tertib persidangan. 

Salah satu poin yang harus diperhatikan para jurnalis pada klausul tata tertib umum. Dalam poin ketiga berbunyi, “Pengambilan foto, rekaman suara, rekaman TV harus seizin ketua pengadilan negeri yang bersangkutan.”

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement