Rabu 19 Feb 2020 09:50 WIB

Soal PP Bisa Ubah UU, Mahfud: Salah Ketik Biasa

Klarifikasi pemerintah yang sebut Pasal 170 sebagai kesalahan pengetikan, itu aneh.

Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam), Mahfud MD
Foto: Republika TV/Havid Al Vizki
Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam), Mahfud MD

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD mengakui adanya kesalahan tik dalam draf Rancangan Undang-Undang (RUU) Omnibus Law Cipta Kerja Pasal 170 Ayat (1). Kesalahan pengetikan ini disebutnya bermula di Kementerian Koordinator bidang Perekonomian.

"Ya gate-nya di perekonomian itu, cuma saat-saat terakhir ada perbaikan lalu ada keliru itu. Itu saja," ujar Mahfud di Kompleks Istana Presiden, Jakarta, Selasa (18/2).

Baca Juga

Menurut dia, kesalahan tik dalam sebuah rancangan undang-undang merupakan hal yang biasa. Pemerintah memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk turut memantau naskah dan draf RUU Omnibus Law Cipta Kerja.

"Itu sebabnya rakyat diberi kesempatan untuk memantau di DPR dan memantau naskahnya. Oleh karena rakyat diberi kesempatan maka rakyat menjadi tahu seperti Anda tahu karena diberi kesempatan untuk tahu dan memperbaiki,"ujar Mahfud.

Ia pun menyampaikan, saat ini RUU Omnibus Law Cipta Kerja masih dalam bentuk rancangan. Sehingga, masih bisa dilakukan perbaikan di DPR jika terdapat kesalahan. "Jadi, tidak ada PP itu bisa mengubah UU," tegasnya.

Mahfud mengatakan, setiap RUU selalu bisa diperbaiki selama masih dalam masa pembahasan. Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto berdalih ada kesalahan pengertian terkait isi pasal yang memberi kewenangan kepada Presiden Jokowi untuk mengubah UU melalui peraturan pemerintah (PP) dengan alasan percepatan pelaksanaan kebijakan strategis.

Ketua Umum Partai Golkar itu berkelit dan menepis tudingan RUU Cipta Kerja memberi celah otoriter bagi pemerintah pusat. Ia menegaskan, secara hierarki perundang-undangan, PP tak bisa menggantikan atau mengubah undang-undang (UU). "Memang itu ada salah pengertian di sana, bahwa PP itu tidak bisa menggantikan UU," ujar Airlangga di kompleks Istana Kepresidenan, Senin (17/2) sore.

Airlangga pun menolak menjelaskan lebih perinci mengenai poin Bab XIII Pasal 170 yang menyinggung 'kewenangan' pemerintah pusat mengubah UU. Menurut dia, ada salah tafsir di pasal tersebut. "Tidak ada (kesalahan kalimat). Bacaan saja yang belum pas," dalih Airlangga.

photo
DPR resmi menerima naskah omnibus law cipta kerja dari pemerintah di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Rabu (12/2).

Tiga ayat

Direktur Eksekutif Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Erasmus Napitupulu menilai, klarifikasi pemerintah yang menyebut Pasal 170 sebagai kesalahan pengetikan itu aneh. Sebab, pasal itu terdiri atas tiga ayat yang isinya terkait satu sama lain.

"Saya bilang aneh saja. Karena salah ketik itu biasanya, ya satu ayat okelah salah ketik. Tapi, kalau salah ketiknya satu pasal dan sistematis, itu kan aneh. Sistematis itu kan terkait satu sama lain. Berarti, kan tidak seperti salah ketik. Bagi saya sih itu tidak salah ketik, tapi dicoba-coba tapi gagal," kata dia dihubungi Repu blika.

Sementara, pakar hukum tata negara dari Jentera Law School, Bivitri Susanti, juga meragukan klaim pemerintah soal salah tik dalam penulisan Pasal 107 itu. Ia menilai, ada kesalahan konsepsi di pihak pemerintah yang menyusun pasal tersebut.

"Kalau diperhatikan, salah ketik itu kan misalnya i jadi o gituya, itu salah ketik satu huruf atau satu kata. Tapi kalau satu pasal begitu, itu bukan salah ketik, tetapi ada kesalahan konsepsi," kata Bivitri.

Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad mengaku DPR memberikan kesempatan kepada pemerintah untuk memperbaiki draft RUU Cipta Kerja. "Nanti kanada rapat antara pemerintah dengan DPR, pada saat itu kita kasih kesempatan pemerintah untuk me-reviewdraf tersebut,"kata Dasco.

Ia menjelaskan, DPR dan pemerintah baru akan membahas Omnibus Law Cipta Kerja setelah pimpinan DPR menggelar rapat badan musyawarah (bamus) untuk menentukan alat kelengkapan mana yang akan ditunjuk untuk membahas omnibus law tersebut. (dessy suciati saputri/arif satrio nugroho, ed: agus raharjo)

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement