Selasa 18 Feb 2020 18:13 WIB

Dewan Pers Tolak Campur Tangan Pemerintah Lewat Omnibus Law

Lewat Omnibus Law, pemerintah dinilai ingin kembali campur tangan ke dunia pers.

Rep: Ali Mansur/ Red: Teguh Firmansyah
Aliansi Jurnalis Independen (AJI), Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI), Persatuan Wartawan Indonesia (PWI), dan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers menggelar konferensi pers terkait RUU Omnisbus Law Cilaka yang menyasar dunia pers, di Gedung Dewan Pers, Jakarta Pusat, Selasa (18/2).
Foto: Republika/Ali Mansur
Aliansi Jurnalis Independen (AJI), Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI), Persatuan Wartawan Indonesia (PWI), dan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers menggelar konferensi pers terkait RUU Omnisbus Law Cilaka yang menyasar dunia pers, di Gedung Dewan Pers, Jakarta Pusat, Selasa (18/2).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Draft Rancangan Undang-Undang Cipta Lapangan Kerja (RUU Cilaka) terus menuai protes. Penolakan tidak hanya dari serikut buruh tapi juga dari insan pers. Lewat Omnibus Law Cilaka, pemerintah disinyalir ingin kembali ikut campur mengatur dunia pers Indonesia.

Dewan Pers menolak pasal-pasal pada Omnibus Law Cipta Kerja yang berpotensi mengekang kebebasan pers, seperti pada orde baru silam. Maka secara tegas menolak adanya upaya pemerintah untuk campur tangan lagi dalam kehidupan pers.

Baca Juga

"Niat untuk campur tangan lagi ini terlihat dalam Ombnibus Law Cipta Kerja yang akan membuat peraturan pemerintah soal pengenaan sanksi admintstratif terhadap perusahaan media yang dinilai melanggar pasal 9 dan pasal 12," tegas Anggota Dewan Pers Imam Wahyudi di Gedung Dewan Pers, Jakarta Pusat, Selasa (18/2).

Menurut Imam, Pasal 9 memuat ketentuan soal perusahaan pers harus berbentuk badan hukum Indonesia. Sementara untuk Pasal 12 mengatur soal perusahaan pers yang wajib mengumumkan nama, alamat dan penanggung jawabnya secara terbuka.

Padahal, kata Imam, Undang Undang Nomor 40 tahun 1999 tentang Pers, yang menjadi payung hukum kebobasan pers saat ini, dibentuk dengan semangat self regutatory dan tak ada campur tangan pemerintah di dalamnya.

"Semangat itu tak bisa dilepaskan dari pengalaman buruk di masa Orde Baru, di mana pemerintah melakukan campur tangan sangat dalam di bidang pers," jelasnya.

Lebih lanjut, Imam menjelaskan pada saat itu campur tangan ditunjukkan

melalui adanya kewenangan pemerintah untuk mencabut Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP). Pemerintah juga mengendalikan Dewan Pers dengan menempatkan Menteri Penerangan sebagai ketua secara ex-officio, dan menetapkan hanya satu organisasi wartawan yang diakui.

Kemudian lahirnya Undang Undang Pers tahun 1999 memiliki semangat untuk mengoreksi praktik buruk pemerintah orde baru dalam mengekang pers. Semangat itu tercermin antara lain dengan menegaskan kembali tak adanya sensor dan pembredelan. Dewan Pers yang dibentuk oleh komunitas pers dan tanpa ada wakil dari pemerintah seperti masa Orde Baru.

"Artinya, kewenangan untuk mengimplementasikan undang-undang ini berada sepenuhnya di tangan Dewan Pers, bukan melalui peraturan pemerintah seperti dalam undang-undang pada umumnya," tuturnya.

Imam melanjutkan, RUU Cipta Kerja mengatur agar ada peraturan pemerintah mengatur soal pengenaan sanksi administratif. Hal itu jelas merupakan bentuk kemunduran bagi kebebasan pers.

Menurutnya ini sama saja dengan menciptakan mekanisme "pintu belakang" atau "Jalan tikus" bagi pemerintah untuk ikut campur urusan pers.

"Kami mengkhawatirkan hal buruk di masa Orde Baru akan terulang, di mana pemerintah menggunakan dalih soal administratif untuk mengekang pers, Kami meminta revisi pasal ini dicabut," pintanya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement