REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Hakim Mahkamah Konstitusi (MK) Sadli Isra meminta penjelasan lebih rinci terkait kedudukan hukum atau legal standing para pemohon uji formil atas Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU KPK). Para pemohon antara lain tiga pimpinan KPK dan para pegiat antikorupsi.
"Jadi tidak perlu juga banyak pemohon. Kalau mau banyak tidak masalah, sepanjang kuasa hukum menjelaskan kerugian konstisusional dari masing masing prinsipal (pemohon) itu," ujar Sadli dalam sidang pendahuluan UU KPK itu di gedung MK, Jakarta Pusat, Senin (9/12).
Saldi meminta kuasa hukum pemohon menjelaskan kedudukan hukum dan kerugian konstitusionalitas para pemohon secara detail. Kuasa hukum harus menegaskan kalau pemohon benar-benar mengalami kerugian secara konstitusi karena terbitnya UU Nomor 19 Tahun 2019.
Pemohon perkara UU KPK ini adalah tiga pimpinan KPK yakni Ketua KPK Agus Rahardjo, Wakil Ketua KPK Laode Muhammad Syarif, dan Wakil Ketua KPK Saut Situmorang. Sepuluh tokoh lainnya yaitu Erry Riyana Hardjapamekas, Moch Jasin, Betti Alisjahbana, Ismid Hadad, Abdul Fickar Hadjar, Omie Komariah Madjid, Hariadi Kartodihardjo, Mayling Oey, Suahartini Hadad, dan Abdillah Toha.
Saldi kemudian mengingatkan legal standing ketiga pimpinan KPK ketika mereka tak akan lagi menjabat pada 27 Desember nanti. Mengingat, perjalanan persidangan memerlukan waktu dan ia menanyakan status dan kedudukan hukum mereka masih akan disebut sebagai pimpinan KPK atau tidak.
"Karena kalau legal standing tak terurai dengan baik, dan kami tidak bisa menelusuri kerugian konstitusional, permohonan berhenti di legal standing ini. Itu harus diperhatikan kuasa pemohon," jelas dia.
Hakim Arief Hidayat menambahkan, majelis hakim MK selalu mempertimbangkan legal standing pemohon untuk memberikan putusan perkara. MK akan menguraikan satu per satu legal standing dari setiap pemohon dalam satu permohonan.
"Tadi sudah disampaikan supaya diuraikan satu per satu apakah prinsipal ini punya legal standing mempunyai hal konstitusional yang dilanggar atau yang di abaikan demgan berlakunya undang-undang ini," kata Arief.
Kuasa hukum pemohon, Feri Amsari menyebutkan di depan majelis hakim MK bahwa para pemohon mendedikasikan hidupnya untuk kegiatan-kegiatan misi sosial terutama dalam upaya pemberantasan korupsi. Para pemohon menilai UU Nomor 19/2019 cacat formil dan prosedural, bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 12 tahun 2011 tentang pembentukan peraturan perundang-undangan.
"Mereka adalah pihak-pihak yang merasakan betul dari dampak diberlakukannya Undang-Undang Nomor 19 tahun 20019 yang dibuat tidak sesuai dengan ketentuan Undang-Undang undang Nomor 12 tahun 2011," kata dia.
Feri akan menjelaskan secara detail kedudukan hukum pemohon dalam perbaikan permohonan nantinya. Ia beralasan, belum jelasnya legal standing dalam berkas yang diajukan karena keterbatasan waktu saat menyusun permohonan.
Menurut dia, UU KPK juga bersifat erga omnes atau siapa saja terkena dampak dari aturan itu. Sehingga, para pemohon memiliki kedudukan hukum atas perkara UU KPK ini.
"Itu nanti akan kami lengkapi sebaik-baiknya untuk memenuhi standar yang diinginkan oleh Mahkamah Konstitusi," kata Feri kepada wartawan.