REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) mendorong mitigasi bencana melalui pemanfaatan teknologi dalam pembangunan infrastruktur. Sebab Indonesia terletak di kawasan cincin api (ring of fire) yang rentan mengalami bencana alam, sehingga proses pembangunan infrastruktur harus memilih lokasi yang tepat.
BPPT mencoba menerapkan langkah antisipatif melalui teknologi yang diyakini mampu mendeteksi terjadinya bencana alam. Kepala BPPT Hammam Riza mengatakan, pemerintah melalui kementerian dan lembaga kini telah berfokus pada pemetaan wilayah yang berpotensi rawan bencana.
"Berdasar data historis kebencanaan di berbagai wilayah di Indonesia kementerian dan lembaga terkait telah menyusun peta daerah rawan bencana," kata Hammam, dalam siaran pers, Sabtu (23/11).
Sejumlah pihak yang terlibat dalam proses pemetaan kawasan rawan bencana geologi ini diantaranya Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG), Badan Geologi, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM).
Peta yang telah disusun itu pun seharusnya menjadi acuan bagi setiap daerah dalam membuat perencanaan tata ruang dan melakukan pembangunan infrastruktur. Sebab pembangunan berwawasan bencana ini memerlukan perhatian pula dari Pemerintah Daerah (Pemda) yang wilayahnya rawan bencana.
BPPT pun, kata Hammam, telah meningkatkan upaya mitigasi bencana. Upaya BPPT ini yakni melalui pemasangan alat pendeteksi tsunami, buoy Merah Putih di kawasan Gunung Anak Krakatau (GAK).
"Pemasangan buoy generasi ketiga dilakukan oleh Tim Teknis BPPT di area gunung pada April 2019," sebutnya.
Hammam menjelaskan pemasangan buoy saat itu menggunakan Kapal Riset (KM) Baruna Jaya IV, pasca bencana tsunami yang melanda Selat Sunda.
"BPPT mengerahkan armada Kapal Riset Baruna Jaya IV untuk membawa buoy itu ke perairan Selat Sunda," tutur Hammam.
Setelah dideploy, data perdana mengenai informasi gelombang laut yang dihasilkan buoy, telah sukses dikirim ke Pusat Data Buoy Indonesia (PDBI) yang berada di Gedung BPPT, Jalan MH Thamrin, Jakarta Pusat.
"Data perdana dari Buoy Tsunami itu telah berhasil dikirimkan ke PDBI BPPT di Thamrin," jelas Hammam.
Hammam menuturkan, jika kondisi lautan dalam keadaan normal, buoy itu akan mengirimkan data secara real time tiap satu jam. Sebaliknya, jika bencana seperti tsunami terjadi, maka alat itu tentunya secara otomatis akan mengirimkan data lebih cepat, yakni tiap 15 detik.
"Tiap 1 jam sekali, buoy itu akan mengirimkan data, itu jika kondisi lautannya dalam keadaan normal. Namun jika terjadi tsunami, maka buoy akan mengirimkan data lebih cepat, datanya dikirim tiap 15 detik," kata Hammam.
BPPT telah melakukan survei batimetri sebelum mendeploy buoy di kawasan GAK. Survei batimetri merupakan pemetaan dasar laut yang berfungsi untuk menentukan titik OBU atau sensor pendeteksi tsunami yang hendak dipasang.
"Survei batimetri atau pemetaan dasar laut itu untuk menentukan lokasi OBU yang akan dipasang," papar Hammam.
Selanjutnya, langkah BPPT dalam meningkatkan mitigasi bencana pun terus dilakukan, karena BPPT baru saja melakukan kegiatan survei kelautan dalam upaya pemetaan Cable Base Tsunameter (CBT).
Kegiatan ini dilakukan selama 5 hari, yakni pada 1 hingga 5 November 2019, menggunakan Kapal Riset (KR) Baruna Jaya I untuk pemetaan CBT koridor Lampung Barat tepatnya di Krui dan Selatan Jawa tepatnya di Pelabuhan Ratu.
Hammam mengatakan bahwa saat ini BPPT tengah melanjutkan tugasnya dalam mengurangi risiko bencana. "BPPT memang berencana memperluas daerah jangkauan pemetaan, ini langkah antisipatif ya, khususnya dalam menghadapi bencana tsunami," tutur Hammam.