Ahad 10 Nov 2019 20:56 WIB

Menguak Mitos Mengerikan di Kampung Anti Sinden DI Sragen

Menguak Mitos Mengerikan di Kampung Anti Sinden DI Sragen

Rep: Joglosemar/ Red: Joglosemar
 Kampung Singomodo di Desa Kandangsapi Jenar Sragen yang sebagian didominasi pekarangan kosong dan pepohonan rimbun. Foto/Wardoyo
Kampung Singomodo di Desa Kandangsapi Jenar Sragen yang sebagian didominasi pekarangan kosong dan pepohonan rimbun. Foto/Wardoyo

SRAGEN, JOGLOSEMARNEWS.COM- Dalam kultur kehidupan masyarakat Jawa, tak bisa dimungkiri kadang masih kental dengan nuansa kejawen.

Tak hanya tradisi adat, sebagian masyarakat ternyata juga masih memegang teguh kepercayaan atau mitos yang kadang agak sulit dilogika di era milenial sekarang ini.

Salah satunya di Desa Kandangsapi, Kecamatan Jenar. Di desa paling utara Sragen yang berbatasan dengan Ngawi, Jatim ini, hidup sebuah mitos mengerikan tentang sebuah kampung sakral bernama Singomodo.

Kampung yang berada di sekitar makam Syekh Nasher atau oleh warga dikenal sebagai Eyang Singomodo itu, selama turun temurun, dikenal dengan sebutan kampung anti sinden.

Tak main-main, warga yang nekat melanggar aturan itu, konon akan langsung menerima petaka hingga ajal taruhannya.

Untuk menguak mitos mengerikan itu, Joglosemarnews.com mencoba menelusuri jejak sejarah dari para sesepuh maupun warga penghuni kampung Singomodo.

Ternyata mitos itu bukan isapan jempol belaka. Menurut juru kunci makam Eyang Singomodo atau Syekh Nasher, Mbah Slamet (65), mitos kampung anti sinden di Singomodo memang sudah dipercaya turun temurun.

Hingga kini warga di kampung itu masih meyakini dan tak ada yang berani melanggar aturan tak tertulis yang berlaku sejak zaman leluhur tersebut.

Bagaimana ceritanya hingga muncul Kampung Singomodo yang anti suara sinden itu?

Mbah Slamet memulai cerita dengan mengupas sosok Syekh Nasher yang dikenal dengan sebutan Eyang Singomodo. Menurut cerita turun temurun, Eyang Singomodo dikenal sebagai salah satu tokoh agama Islam dari keturunan Keraton Surakarta Hadiningrat pada masa kepemimpinan PB Kedua.

Saat terjadi perang Mataram, Syekh Nasher bersama dengan lima orang prajurit pengikutnya melakukan perjalanan menyusuri bengawan dengan gethek (rakit) dan terdampar di wilayah sekitar daerah Pungkruk, dekat Kandangsapi.

Di situlah kemudian Syekh Nasher memutuskan menetap dan melakukan syiar agama Islam di wilayah Kandangsapi dan sekitarnya.

“Sebagai ulama, saat itu Syekh Nasher punya banyak santri. Ada sekitar 100an santri dan karena prihatinnya tinggi, dia juga dikenal punya ilmu rogosukmo. Lalu dia membuat batas wilayah. Wilayah itu dinamakan Singomodo yang kemudian disebut jadi Kampung Singomodo,” papar Slamet, Jumat (8/11/2019).

Mbah Slamet, juru kunci makam Syekh Nasher alias Eyang Singomodo. Foto/Wardoyo

Dari cerita leluhurnya, Slamet menuturkan saat menetapkan tapal batas kampung itu, Eyang Singomodo atau Syekh Nasher itu berujar ke pengikutnya agar tidak melanggar batas yang sudah ditetapkan.

Jika dilanggar, maka harus siap menanggung segala risikonya. Untuk menandai batas wilayah Kampung Singomodo, Syekh Nasher membuat pematang (galengan) di sekeliling kampung yang hingga kini juga masih ada.

“Suatu hari, Syekh Nasher mengajak lima pengikutnya untuk membuat rumah. Nah, yang empat pengikut masang usuk (kayu penopang atap), ada satu pengikut yang kepincut nonton ledek ramen (sinden keliling),” tuturnya.

Karena melanggar, akhirnya pengikut itu dan sinden dipanggil Syekh Nasher. Keduanya ditawari lebih baik menikah saja lalu diminta memisahkan diri.

Satu pengikut dan sinden itu kemudian diminta tinggal ke barat batas jalan yang sudah dibuat, sedangkan Syekh Nasher dan pengikutnya ada di timur batas jalan.

“Nah, sejak saat itulah, Syekh Nasher melarang pengikut yang tinggal di wilayah dalam batas timur jalan untuk mendengarkan atau membunyikan apapun yang ada suara sinden, lalu dilarang menggelar hajatan atau hiburan yang mengundang sinden atau penyanyi wanita. Barang siapa melanggar, risikonya ajal,”  urai Slamet.

Mbah Slamet menuturkan cerita soal petaka bagi warga RT Singomodo yang melanggar aturan itu sudah banyak terjadi.

Menurutnya, konon suatu ketika ada warga bernama Mbah Suro, yang nekat nanggap ledhek mbarang (sinden keliling) ke rumahnya. Setelah itu, selesai ditanggap, jarak 100 meter sindennya pergi kejadian aneh langsung menimpa.

“Saya masih kecil waktu itu. Mbah Suro habis nanggap ledhek itu lalu jalan ke sumur, langsung kejatuhan kelapa kena kepalanya dan meninggal. Itu terjadi ketika sindene paling baru jalan keluar sekitar 100 meter,” terangnya.

Mbah Slamet juga menceritakan ketika salah seorang warga di RT 5 Kampung Singomodo bernama Mbah Mangun, juga nekat nanggap wayang ada sindennya.

“Usai pentas wayang, besoknya langsung hilang ingatan dan ngamuk bawa golok lalu ngancami warga satu desa seperti orang gila. Setelah dijalukne ngapuro dan diminta ziarah ke Makam Syekh Nasher, langsung sembuh. Itu masih bejo nggak sampai meninggal. Karena biasanya yang melanggar langsung dapat petaka meninggal. Boleh percaya boleh tidak, tapi riwayat yang kami dengar dan pernah kami alami memang seperti itu,” urai Slamet.

Salah satu sesepuh sekaligus Kadus  Desa Kandangsapi, Bopo Hartono (61) tak menampik soal mitos kesakralan kampung Singomodo itu yang masih dipercaya warga hingga sekarang. Kampung Singomodo yang disakralkan itu tepatnya berlokasi di RT 5 Dukuh Singomodo.

Bahkan, warga yang tinggal di satu RT 5 itu selama ini tak pernah ada yang punya TV, radio atau perangkat musik di rumahnya.

“Sampai sekarang warga di RT 5 Kampung Singomodo itu memang belum ada yang berani nanggap sinden atau membunyikan musik sinden. Karena juga sudah banyak kejadiannya. Kalau hanya sekadar nanggap karawitan atau gong nggak papa tapi nggak pakai sinden. Nanggap musik pun nggak papa tapi nggak boleh nyetel yang ada suara sindennya,” terangnya.

Salah satu warga RT 5 Kampung Singomodo, Sainem (75) juga menuturkan cerita yang nyaris tak jauh beda.

Ia yang sejak kecil tinggal di Kampung Singomodo, mengaku memang ada beberapa peristiwa aneh datang jika ada warga yang nekat melanggar aturan itu.

“Mau nggak percaya wong nyatanya juga kejadian. Nanggap gong angsal, nanggap wayang juga, tapi nggak boleh ada suara sinden. Saya masih ingat, dulu putrane   (anak) Sukarmo saking senangnya punya anak lalu nekat sepasaran bayi nanggap tip dan nyetel musik klenengan ada suara sindennya. Hajatan belum selesai, bayinya saat itu langsung ninggal. Pokoke sirikane (larangan) nggak boleh ada suara sinden, itu saja,” tuturnya.

Disclaimer: Berita ini merupakan kerja sama Republika.co.id dengan joglosemarnews.com. Hal yang terkait dengan tulisan, foto, grafis, video, dan keseluruhan isi berita menjadi tanggung jawab joglosemarnews.com.
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement