Rabu 30 Oct 2019 00:20 WIB

PKS Ingatkan Pemerintah Soal Bahaya Laten Utang Baru

Pemerintah agar berhati-hati dalam manajemen utang.

Rep: Ali Mansur/ Red: Andi Nur Aminah
Anggota Komisi XI DPR, Ecky Awal Mucharam
Anggota Komisi XI DPR, Ecky Awal Mucharam

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Anggota Komisi XI Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI, Ecky Awal Mucharam, mengkritik rencana Pemerintah untuk menambah utang baru. Ia juga mengingatkan kepada pemerintah agar berhati-hati dalam manajemen utang, terutama ada wacana pemerintah untuk menambah utang baru.

"Pemerintah untuk waspada terhadap utang yang semakin melonjak, dimana defisit berdasarkan APBN 2020 ditargetkan mencapai Rp 307,2 triliun, meningkat apabila dibandingkan dengan target APBN 2019 Rp 297 triliun," ujar Politikus Partai Keadilan Sejahtera (PKS) saat dikonfirmasi oleh Republika.co.id, Selasa (29/10).

Baca Juga

Menurut Ecky, utang yang terus menumpuk dan tidak dikelola dengan baik justru dapat menyebabkan perlambatan pertumbuhan ekonomi. Bahkan dapat membuat ekonomi Indonesia rentan akan external shock. Ia juga menilai ketergantungan Indonesia akan utang ini salah satunya disebabkan oleh besarnya shortfall perpajakan. "Pada tahun 2019 saja diperkirakan akan terjadi shortfall sebesar Rp 143 triliun," keluhnya.

Lanjut Ecky, Indonesia belum bisa memaksimalkan potensi pendapatan perpajakan yang ada. Selama lima tahun terakhir, rata-rata pertumbuhan penerimaan pajak Indonesia setiap tahunnya hanya sebesar 5,73 persen. Angka itu, kata Ecky, sangat jauh apabila dibandingkan pertumbuhan pada periode 2005-2009 yang mencapai 17,56 persen per tahun.

Selanjutnya Ecky, juga menyoroti bahwa selama pemerintahan Joko Widodo dari 2015-2018, stok hutang pemerintah dalam bentuk SBN bertambah Rp 1.600 triliun. Defisit APBN selama ini masih bersifat tidak produktif. Itu dikarenakan masih tingginya alokasi anggaran belanja yang tidak efisen serta potensi kebocoran berbagai belanja lainnya yang masih tinggi. "Pemerintahan ke depan perlu mengubah paradigma dalam pembiayaan defisit dan pengelolaan utang negara," tambahnya.

Oleh karena itu, Ecky meminta agar Pemerintah dan Bank Indonesia harus mewaspadai tren meningkatnya rasio utang Pemerintah dan utang luar negeri Indonesia di tahun 2019. Ecky mengatakan, debt to GDP ratio Indonesia mengalami tren peningkatan selama tiga tahun terakhir, dari 24 persen pada tahun 2014 hingga mendekati 30 persen di tahun 2019.

Tren meningkatnya debt to GDP ratio ini menunjukkan bahwa utang yang dilakukan relatif kurang efektif dalam mendorong pertumbuhan ekonomi. "Hal serupa terjadi pada debt to service ratio Indonesia yang terus mengalami peningkatan dari 23.95 persen (2014) menjadi 26.18 persen (2019), tren tersebut menunjukkan sinyal yang kurang baik atas perekonomian Indonesia," terang Ecky.

Lebih lanjut, khusus untuk utang luar negeri, Pemerintah dan Bank Indonesia harus meningkatkan koordinasi, terutama dengan semakin tingginya ketidakpastian perekonomian global. Perekonomian Amerika Serikat yang mulai menunjukkan perbaikan membuat The Fed kembali berencana meningkatkan tingkat suku bunga secara bertahap selama tahun 2018.

“Kenaikan tersebut dapat menimbulkan capital outflow dan salah satu dampak awalnya adalah pada nilai tukar rupiah," kata ecky.

Sementara itu, lanjut Ecky, melemahnya nilai tukar rupiah tentu akan memukul sektor swasta yang memiliki utang luar negeri karena beban utang mereka otomatis akan meningkat. Ecky memperingatkan bahwa risiko kurs tersebut harus diperhatikan. "Terlebih tren rasio utang luar negeri Indonesia terhadap GDP terus meningkat setiap tahunnya, dari 32,95 persen (2014) menjadi 36.8 persen (2019). 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement