Rabu 02 Oct 2019 15:31 WIB

Pakar: Pengajuan PK Perkara BLBI Bisa untuk Terobosan Hukum

Putusan pelanggaran etika dari MA soal hakim kasasi BLBI bisa menjadi novum.

Rep: Dian Erika Nugraheny/ Red: Ratna Puspita
Praktisi Hukum, Abdul Fickar Hadjar
Foto: Republika/Iman Firmansyah
Praktisi Hukum, Abdul Fickar Hadjar

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pakar Hukum Pidana dari Univesitas Trisakti, Abdul Fickar Hadjar, menilai pengajuan peninjauan kembali (PK) dalam perkada Bantuan Langsung Bank Indonesia (BLBI) harus dilakukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Menurut dia, pengajuan PK ini bertujuan sebagai terobosan hukum.

"Harus dilakukan sebagai upaya terobosan hukum," ujar Abdul saat dikonfirmasi Republika, Rabu (2/10). 

Baca Juga

Dia menjelaskan bukti putusan etika dari Mahkamah Agung (MA) ini bisa menjadi novum atau alasan kekhilafan/kekeliruan hakim. Sehingga, bisa dijadikan rujukan untuk mengajukan PK atas perkara terdakwa Syafruddin Arsyad Tamenggung ke MA.  

"Putusan etik oleh MA ini menunjukan bahwa standar moral Hakim Agung patut dipertanyakan karena tidak ada sensivitas untuk menjaga diri sendiri. Bahkan hakim  tidak paham conflict of interest, dan justru mencari pembenaran atas pertemuan dengan pengacara terpidana sebagai pertemuan dengan kawan lama dan junior," kata Abdul menegaskan.  

Terkait putusan Mahkamah Konstitusi (MK) pada 2016 yang menyatakan jaksa tidak bisa mengajukan PK, Abdul menyebut hal itu bisa disiasati. Dia menyarankan argumenencari keadilan materiil dalam perkara pidana tidak dibatasi waktu. 

"Karena itu MK memberi peluang untuk mengajukan PK berkali-kali atau lebih dari satu kali. Karena ada dasar filosofi dan dasar pemikiran yang sama, maka KPK sebagai penuntut/jaksa juga harus diberi ruang untuk PK dlm rangka mewujudkan keadilan materiil," papar Abdul. 

Dia berpendapat, keadilan materiil dalam konteks penegakan hukum khususnya pidana adalah kepentingan umum yang tidak boleh dikesampingkan oleh penghormatan terhadap hak asasi para narapidana. "Oleh sebab itu, baik jaksa maupun KPK harus diterima sebagai realitas yuridis neskipun tidak diatur oleh KUHAP secara eksplisit. Karna itu, PK harus diajukan oleh KPK," ujarnya menambahkan. 

Sebelumnya, KPK membuka kemungkinan mengajukan PK dalam perkara korupsi penghapusan piutang BLBI terhadap Bank Dagang Negara Indonesia (BDNI). Saat ini, KPK sedang melakukan pendalam mengenai kemungkinan tersebut.

"Untuk PK nanti kita akan dalami ya kalau ada itu bisa membantu apa 'mengclearkan' perkara, kenapa tidak? Kemarin kan tiga hakim beda semua kan yang satu pidana yang satu perdata yang satu administrasi," kata Wakil Ketua KPK Alexander Marwata di Jakarta, Selasa (1/10).

Alexander mengatakan KPK akan mendalami pelanggaran etik oleh anggota majelis hakim kasasi MA, Syamsul Rakan Chaniago. Pendalaman untuk mengetahui apakah hukuman kode etik untuk Syamsul terkait dengan penanganan perkara Syafruddin Arsyad Tumenggung. 

"Sejauh mana relevansinya terkait dengan keputusan yang kemarin dia buat kan? Apakah putusan yang kemarin dibuat itu terkait dengan pelanggaran kode etik atau tidak akan kita lihat relevansinya dengan perkara yang diputuskan," kata Alexander.

Juru Bicara MA, Andi Samsan Nganro, sebelumnya menyatakan hakim ad hoc Tindak Pidana Korupsi, Syamsul Rakan Chaniago, terbukti melanggar kode etik dan perilaku hakim. Syamsul dihukum tidak boleh menangani perkara selama 6 bulan.

Pelanggaran etik yang dilakukan Hakim Syamsul Rakan Chaniago adalah namanya masih tercantum di kantor law firm walau sudah menjabat sebagai hakim ad hoc Tipikor pada MA. Selain itu, ia mengadakan pertemuan dengan pengacara SAT yaitu Ahmad Yani di Plaza Indonesia pada 28 Juni 2019 pukul 17.38-18.30 WIB.

Padahal saat itu, Syamsul adalah salah satu majelis hakim kasasi yang menangani kasus dugaan korupsi perkara korupsi penghapusan piutang BLBI terhadap BDNI dengan terdakwa mantan Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN), Syafruddin Arsyad Tumenggung (SAT). Pada 9 Juli 2019, majelis kasasi yang terdiri atas hakim Salman Luthan selaku ketua dengan anggota hakim Syamsul Rakan Chaniago dan Mohamad Asikin memutuskan SAT tidak melakukan tindak pidana sehingga harus dikeluarkan dari tahanan.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement