Sabtu 14 Sep 2019 04:41 WIB

Negeri Hipokrit: Habibie Berkuasa Dihujat, Tiada Dipuja

BJ Habibie Kinerjanya Dihujat Setelah Tiada Dipuja

BJ Habibie
Foto: Republika/Edwin Dwi Putranto
BJ Habibie

Oleh Lukman Hakiem: Peminat Sejarah Staf Ahli Fraksi PPP MPR-RI 1999-2004

INDONESIA sejak akhir 1997 didera krisis. Mula-mula krisis moneter, meningkat menjadi krisis ekonomi, sebelum akhirnya berubah menjadi krisis kepercayaan. Belakangan krisis di Indonesia disebut sebagai krisis multidimensi,  karena telah berjalin berkelindan di antara krisis politik, krisis hukum, dan krisis ekonomi.

Puncak dari krisis multidimensi itu ialah mundurnya H.M. Soeharto dari jabatan Presiden Republik Indonesia pada 21 Mei 1998, padahal jabatan tersebut baru diembannya sejak 11 Maret 1998.

Konsekuensi logis dari mundurnya Presiden Soeharto ialah naiknya Wakil Presiden BJ. Habibie ke kursi kepresidenan.

Dalam krisis multidimensi, betapapun naiknya Habibie ke kursi kepresidenan sah secara konstitusional, suara yang mempersoalkan posisi Habibie terdengar sangat nyaring.

Habibie yang berterus terang mengaku sebagai murid Soeharto, dianggap sebagai kroni Orde Baru, dan karena itu tidak berhak melanjutkan masa jabatan Soeharto.

Dan hanyalah berkat kegigihan dua guru besar hukum tata negara, Ismail Sunny dan Yusril Ihza Mahendra, di dalam membela keabsahan konstitusional posisi Presiden Habibie, para pengeritik yang umumnya bukan pakar hukum tata negara, bungkam.

photo
Prof BJ Habibie berkunjung ke Ponpes Attaqwa Ujung Harapan, Babelan, Bekasi, beberapa tahun lalu. Duduknya santai banget.

Dari Teknolog ke Cendekiawan Muslim

Sejatinya Habibie bukanlah seorang politisi. Dia seorang teknolog yang oleh Presiden Soeharto dipanggil pulang dari Jerman untuk mengembangkan teknologi di Indonesia.

Kariernya di pemerintahan sejak 1974 hingga 1998 tidak pernah bergeser dari urusan teknologi: perkapalan, persenjataan, hingga pesawat terbang.

Sebagai satu-satunya teknolog dengan karier mencorong di bidangnya, tidak salah jika Habibie menjadi kesayangan Presiden Soeharto. Semua programnya didukung oleh Presiden.

Puncak prestasinya ialah keberhasilannya membuat pesawat terbang, dan menguji coba penerbangannya pada 10 Agustus 1995. Atas prestasinya itu Habibie dipuji,  Habibie juga dicibir.

Para pengeritiknya memplesetkan pesawat terbang produk Industri Pesawat Terbang Nusantara (IPTN), Gatotkaca/Tetuko, menjadi "sing tuku ora teko-teko, sing teko ora tuku-tuku" (yang membeli tidak kunjung datang, yang datang tidak kunjung membeli).

IPTN dikritik sebagai proyek penghamburan uang.

Kritik terhadap Habibie mulai mengeras sejak dia menjadi Ketua Umum Ikatan Cendekiawan Muslim se-Indonesia (ICMI) pada 1990.  Betapapun jauh sebelumnya telah berdiri organisasi cendekiawan atau sarjana berlatar belakang agama tanpa ada sesuatu pihak yang menyatakan keberatan, ketika ICMI berdiri berbagai tuduhan miring kepada organisasi itu berhamburan. Yang paling utama, ICMI dituduh sektarian!

Dalam posisi sebagai Ketum ICMI, Habibie dipercaya oleh Soeharto menjadi Ketua Harian Dewan Pembina Golongan Karya. Maka ketika komposisi anggota MPR periode 1993-1998 dianggap lebih proporsional  dari segi pemeluk agama, Habibie dianggap sebagai otak di balik terbentuknya MPR yang "ijo royo-royo". Sebuah koran terkemuka, tidak kuasa menahan diri dan memelesetkan "ijo royo-royo" menjadi "ijo loyo-loyo".

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement