Rabu 21 Aug 2019 03:44 WIB

Demi Ibu Kota Baru, Ini Empat Skema Tukar Guling Aset

Rencana ibu kota baru, Menteri PPN/Bappenas paparkan empat skema tukar guling aset

Rep: Novita Intan/ Red: Hasanul Rizqa
Ilustrasi Pemindahan Ibu Kota Negara
Foto: mgrol101
Ilustrasi Pemindahan Ibu Kota Negara

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemerintah mengungkapkan empat skema tukar guling aset di Jakarta untuk penambahan biaya pembangunan ibu kota baru di Kalimantan. Adapun beberapa aset tersebut meliputi gedung pemerintah yang berada di pusat Jakarta seperti di kawasan Medan Merdeka, Thamrin, Sudirman, Kuningan dan SCBD.

Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN/Bappenas) Bambang Brodjonegoro mengatakan, pihaknya tidak akan menciptakan skema baru untuk menutup kebutuhan pembangunan ibu kota baru.

Baca Juga

“Saya lupa peraturan pemerintah atau peraturan menteri keuangan mengenai kerja sama pemanfaatan aset itu sudah ada. Nah kita pakai aja skema yang sudah ada tanpa harus menciptakan skema baru,” ujarnya saat acara Youth Talks: Yuk Pindah Ibu Kota’ di Kantor Bappenas, Jakarta, Selasa (20/8).

Bambang menegaskan pengelolaan aset, baik di ibu kota baru maupun Jakarta, milik pemerintah. Adapun empat skema tukar guling aset yakni, pertama, penyewaan gedung perkantoran kepada pihak kedua dengan tarif sesuai dengan kontrak yang ada.

Kedua, kerja sama pembentukan perusahaan yang didirikan oleh dua atau lebih entitas bisnis untuk jangka waktu tertentu. Ketiga, menjual langsung gedung perkantoran yang dimiliki pengembang.

Keempat atau terakhir, sewa gedung dengan syarat pengembang mau berkontribusi dalam pengembangan ibu kota baru.

“Pemerintah tidak akan melakukan ganti rugi karena membeli lahan tapi kita akan menggunakan lokasi yang memang sudah di bawah kendali pemerintah,” ucapnya.

Seluruh aset ini, menurut Bambang, memiliki potensi pemasukan bagi negara hingga Rp 150 triliun. Angka ini mampu menutup kebutuhan anggaran untuk membangun infrastruktur dasar di Kalimantan sebesar Rp 93 triliun.

Adapun khusus untuk skema penjualan aset di Jakarta, maka pihak yang mau membeli wajib memberikan kompensasi berupa membangun fasilitas serupa di ibu kota baru. Bambang menambahkan, skema pengelolaan aset di Jakarta ini bisa memberikan pencerahan bagi masyarakat bahwa pembangunan ibu kota baru tidak akan 'mengusik' penerimaan negara dalam APBN, khususnya penerimaan dari pajak.

"Kesimpulannya penggunaan APBN murni, dalam mengambil sumber lain, sudah tidak ada," jelasnya.

Bambang pun menyebutkan, potensi penerimaan negara sebesar Rp 150 triliun dari pengelolaan aset di Jakarta bisa saja bertambah. Mengingat angka tersebut baru didapat dari perhitungan atas lokasi yang terbatas.

Selain pemanfaatan aset negara di Jakarta, alias penggunaan APBN, pemerintah juga akan memanfaatkan kerja sama dengan swasta dan keterlibatan BUMN. Bila dihitung secara kasar, sekitar 20 persen pembiayaan atau Rp 150 triliun akan didapat dari APBN sedangkan sisanya dari KPBU dan swasta.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement