Jumat 16 Aug 2019 08:02 WIB

Awas, Penumpang Gelap Amendemen UUD!

Rencana menghidupkan kembali GBHN dinilai tidak mendesak.

Suasana gladi bersih jelang digelarnya Sidang Tahunan MPR RI Tahun 2019 di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (15/8).
Foto: Republika/Febrianto Adi Saputro
Suasana gladi bersih jelang digelarnya Sidang Tahunan MPR RI Tahun 2019 di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (15/8).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Mantan ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Hamdan Zoelva menilai, rencana menghidupkan lagi Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) perlu dipertimbangkan ulang. Jika GBHN tak memiliki mekanisme pengawasan dalam penegakannya, hal itu dapat menimbulkan masalah nantinya.

“Tidak memiliki mekanisme pengawasan dalam penegakannya akan jadi soal. Problemnya mengenai pengawasan ini adalah apakah MPR (Majelis Permusyawaratan Rakyat) juga mengawasi implementasi GBHN,” kata dia kepada Republika, Kamis (15/8).

Zoelva mengatakan, dahulu GBHN memiliki kekuatan penuh untuk ditegakkan karena presiden berstatus sebagai mandataris MPR. Presiden terikat dan wajib melaksanakan GBHN. Jika tidak melaksanakan dan terbukti melanggar GBHN, presiden bisa dimintai pertanggungjawaban oleh MPR bahkan diberhentikan.

Namun, kata dia, sistem MPR seperti itu kini sudah tidak dikenal. Jika MPR diberi wewenang untuk meminta pertanggungjawaban presiden, bagian lain harus diubah dengan memberi wewenang kepada MPR meminta pertanggungjawaban presiden.

"Jika begitu perkembangannya maka harus mengubah UUD secara mendasar, tidak bisa mengubah secara parsial," ujar Zoelva. Artinya, usulan PDIP untuk menghidupkan kembali GBHN melalui amendemen UUD 1945 secara terbatas menjadi tidak relevan.

Menurut dia, rencana menghidupkan kembali GBHN tidak mendesak. Argumentasi yang menyebut bahwa GBHN akan memuat hal pokok berupa prinsip-prinsip panduan, misalnya, terkait politik pangan, energi, penguasaan teknologi, politik keuangan, maupun politik pertahanan juga tidak kuat.

Jika kebutuhannya seperti itu, Zoelva menilai, hal tersebut cukup dipenuhi dengan Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN). “Bisa 25 tahun (RPJP) dan hal itu juga efektif asal semua konsekuen dengan RPJP itu,” ujar dia.

Beberapa partai politik juga menyatakan perlunya kajian mendalam soal amendemen UUD 1945. Ketua DPP PKS Mardani Ali Sera menilai urgensi rencana amendemen terbatas UUD 1945 harus benar-benar diperhatikan.

“Amendemen ini seperti membuka kotak pandora. Sebelum menyiapkan mitigasinya, sebaiknya pikir ulang tentang amendemen karena ketika kotak pandora ini dibuka maka keluarlah semua evil (kejahatan), semua penumpang gelap, semua ide yang uncontrollable,” kata Mardani.

Mardani menyebut, kondisi sekarang ini merupakan situasi yang tidak kondusif untuk mewacanakan amendemen terbatas. Pasalnya, kekuatan oposisi atau kekuatan penyeimbang tidak kuat. Mardani menilai rencana amendemen akan tepat dalam pemerintahan yang kuat serta didampingi oposisi yang kuat.

Wakil Ketua Komisi II DPR itu juga khawatir penerapan kembali GBHN dengan peletakan MPR sebagai lembaga tertinggi akan bertentangan dengan kedaulatan rakyat berupa pemilu langsung. Pasalnya, ide dipilihnya presiden melalui MPR kembali mencuat. PKS, kata dia, masih mengkaji dan belum menentukan sikap soal isu amendemen terbatas ini.

Wakil Ketua Umum Gerindra Fadli Zon menilai pilpres langsung memang sudah menjadi kesepakatan nasional. Namun, pilpres melalui MPR juga tetap bisa dipertimbangkan dan dibicarakan. “Ini harus didudukkan. Kita harus ada kontemplasi supaya jangan hanya mengubah untuk kepentingan sesaat jangka pendek, untuk kepentingan kelompok saja,” kata Fadli.

Ketua DPP PKB Abdul Kadir Karding menilai konsep penerapan GBHN harus dipikirkan secara matang dengan memperhatikan berbagai faktor. Bila nanti GBHN dipatok dan pemerintahan tak sesuai GBHN, harus ada pula implikasi konstitusinya. “Tapi, kita setuju harus ada garis-garis besar patokan yang tidak boleh diganggu,” kata Karding.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement