REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pakar Hukum Tata Negara Universitas Gadjah Mada (UGM), Zainal Arifin Mochtar, mengkritisi sikap Bambang Soesatyo (Bamsoet) yang kerap menyampaikan soal rencana amandemen UUD 1945 kepada publik. Pernyataan Bamsoet dalam beberapa kali pidatonya dinilai berbeda dengan apa yang menjadi pembahasan dengan pimpinan MPR lainnya. Terkait itu dia mengimbau pimpinan MPR lainnya agar menegur Bamsoet.
"Kalau kita mau fair artinya silakan lah MPR barangkali tegur ketuanya paling tidak, 'jangan dong pidato kaya gitu karena itu tidak ada dalam pembicaraan kita' misalnya, 'tidak ada dalam agenda kita', karena jangan sampai satu orang mendaku mewakili secara organisasi," kata Zainal dalam sebuah diskusi daring, Sabtu (11/9).
Meskipun pimpinan MPR lainnya mengatakan bahwa amandemen tidak akan dilakukan, namun menurutnya pernyataan Bamsoet dalam pidatonya pada tanggal 16 Agustus 2021 dan 18 Agustus 2021 mengonfirmasi seolah-olah MPR serius terkait rencana amandemen tersebut. "Kalau ketua MPR itu menyatakan itu di publik, bagaimana mungkin publik bisa menolak untuk mengomentari, bahwa tadi Hidayat Nur Wahid, pak ustaz (mengatakan) tidak ada tuh tapi nyatanya Ketua MPR-nya begitu," ujarnya.
Sementara itu Wakil Ketua MPR, Hidayat Nur Wahid, mengungkapkan bahwa pimpinan MPR sudah pernah menegur Bamsoet secara informal melalui grup WhatsApp (WA) yang berisi para pimpinan MPR. Di grup tersebut para pimpinan saling mengingatkan, termasuk pernyataan-pernyataan Bamsoet.
"Kita pimpinan MPR itu ada group WA, di sana kita saling mengingatkan, saling mengoreksi dan termasuk hal itu sudah disampaikan kepada pak ketua MPR. dan beliau menegaskan bahwa beliau tidak bermaksud mengklaim, apalagi mengatakan bahwa MPR mempunyai kehendak, mempunyai program. Beliau menyampaikan itu dalam rangka melaksanakan rekomendasi, dalam rangka menampung atau tetap menerima masukan daripada seluruh pihak. Jadi itu sudah kami lakukan di internal pimpinan," ungkap Hidayat.
Sebelumnya dalam sidang tahunan MPR, Bamsoet menyampaikan pentingnya keberadaan Pokok-Pokok Haluan Negara (PPHN). Karena itu, perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 secara terbatas perlu dilakukan.
"Untuk mewadahi PPHN dalam bentuk hukum Ketetapan MPR, sesuai dengan hasil kajian memerlukan perubahan Undang-Undang Dasar. Oleh karenanya diperlukan perubahan secara terbatas terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 khususnya penambahan wewenang MPR untuk menetapkan PPHN," kata Bamsoet dalam pidatonya, Senin (16/8) lalu.
Bamsoet kembali menyinggung soal rencana perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 secara terbatas di acara peringatan Hari Konstitusi sekaligus perayaan HUT MPR RI ke-76, Rabu (18/8). Dalam pidatonya Bamsoet mengatakan, perubahan UUD bukanlah sesuatu hal yang tabu.
"UUD memang bukanlah kitab suci, karenanya tak boleh dianggap tabu jika ada kehendak melakukan penyempurnaan. Secara alamiah konstitusi akan terus berkembang sesuai dinamika masyarakat," kata Bamsoet ketika itu.