Jumat 29 Nov 2019 08:09 WIB

Pemilihan Presiden Lewat MPR: Jangan Cabut Hak Rakyat

Permasalahan dalam pilpres dinilai berasal dari partai politik.

Ketua MPR Bambang Soesatyo bersama para pimpinan MPR lainya memimpin sidang Paripurna MPR di Gedung Nusantara, Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta. (ilustrasi)
Foto: Republika/Prayogi
Ketua MPR Bambang Soesatyo bersama para pimpinan MPR lainya memimpin sidang Paripurna MPR di Gedung Nusantara, Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta. (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengamat Hukum Tata Negara dari Universitas Andalas, Khairul Fahmi, mengatakan, mengembalikan sistem pemilihan presiden ke MPR merupakan cara berpikir yang tidak tepat. Usulan presiden dipilih MPR diungkapkan Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Said Aqil Siradj dengan klaim aspirasi kiai NU.

Menurut Fahmi, permasalahan yang dalam pelaksanaan pemilihan langsung berasal dari elite politik. Karena itu, demokrasi tak boleh dipertaruhkan dengan mengesampingkan suara rakyat. "Lalu, sekarang dikembalikan ke MPR, rakyat mau disalahkan? Apa rakyat yang salah dalam pemilu? Yang berperilaku korup, main curang siapa? Itu kan juga ada kontribusi elite," ujar Khairul, Kamis (28/11).

Baca Juga

Menurut dia, Indonesia sudah sampai ke pilihan untuk berdemokrasi dan memperkuat sistem presidensial dengan pemilihan presiden secara langsung oleh rakyat. Jika usulan pemilihan presiden dikembalikan lagi ke MPR, sama saja dengan mengubah kedaulatan rakyat.

"Mestinya, kesalahan-kesalahan di level elite jangan ditumpahkan dengan mengubah sistem, mengubah kedaulatan rakyat. Kita sudah memilih sistem, tinggal kelemahannya dibenerin," kata dia menambahkan. Sebab, permasalahan pemilihan langsung bukan terletak pada siapa yang memilih, melainkan praktik dalam proses dan penyelenggaraan pemilihan itu sendiri.

Saat bertemu dengan pimpinan MPR pada Rabu (27/11), Said Aqil mengaku pilpres langsung berbiaya tinggi dilihat dari mudharat dan manfaatnya, terutama biaya sosial karena ada konflik yang sangat mengkhawatirkan dan mengancam. Said mencontohkan kejadian sewaktu pemilu serentak 2019 lalu. "Keadaan kita ini mendidih, panas, sangat-sangat mengkhawatirkan. Apakah setiap lima tahun harus seperti itu," kata Said.

Fahmi mengatakan, yang menetapkan ambang batas pencalonan presiden adalah anggota DPR yang sebagian besar anggota partai politik dan elite politik. Presidential threshold itu berujung pada hanya ada dua pasangan calon presiden dan wakil presiden.

"Lalu, terjadi kontestasi yang hitam-putih seperti kemarin. Lalu, mau ditarik pemilunya ke MPR? Yang salah siapa, yang dihukum siapa. Itu solusi yang tidak tepat. Kita sudah pernah di masa lalu dan kita gagal," tutur Khairul. n ali mansur/arif satrio nugroho/mimi kartika/nawir arsyad akbar, ed: ilham tirta

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement