REPUBLIKA.CO.ID, KARAWANG -- Sejumlah perajin terasi asal Kabupaten Karawang, kesulitan mendapatkan bahan baku yakni udang rebon. Sulitnya bahan baku imbas dari pencemaran tumpahan minyak yang terjadi di perairan utara Karawang.
Sekdes Pasirjaya, Kecamatan Cilamaya Kulon, Ita Fadilah, mengatakan di wilayahnya ada 37 kepala keluarga yang fokus menekuni bisnis rumahan terasi. Biasanya, para perajin ini mampu mengumpulkan satu kuintal udang rebon, yang diperoleh dari bibir pantai, kini jumlahnya menurun.
"Maksimal, para perajin ini mendapatkan bahan baku 30 kilogram," ujarnya, kepada sejumlah media, Senin (12/8).
Penurunan bahan baku berdampak pula pada produksi terasi. Biasanya, untuk lima kilogram udang rebon, bisa menghasilkan satu kilogram terasi super. Adapun harganya di atas Rp 50 ribu per kilogramnya.
Akan tetapi, akibat pencemaran minyak ini, perajin kesulitan mendapatkan bahan baku utama. Sehingga, bisnis terasi mengalami kelesuan.
Sementara itu, perajin terasi asal Desa Cemarajaya, Kecamatan Cibuaya, Atem (43 tahun) terpaksa berhenti memroduksi terasi, sejak wilayahnya tercemar limbah minyak. Karena, saat ini minyak mentah telah memasuki areal pertambakan ikan. Sehingga, dirinya tak berani mencari udang rebon yang biasa diperolehnya dari tambak tersebut.
"Biasanya, saya mencari udang rebon dari tambak. Dalam sehari, bisa mendapatkan tujuh kilogram udang. Tapi, sejak terjadi pencemaran, saya tak berani mencari udang untuk bahan baku terasi," ujarnya.
Karena itu, usahanya berhenti produksi sebab tidak mendapatkan bahan baku. Dari tujuh kilogram udang rebon, Atem bisa mengubahnya menjadi 1,5 kilogram terasi. Harganya mencapai Rp 30 ribu per kilogramnya.
Kini, supaya dapurnya tetap mengebul, Atem memilih alih profesi. Yakni, menjadi buruh pengumpul limbah minyak. Dalam sehari, Atem harus mengumpulkan limbah sebanyak 100 karung. Upahnya sebesar Rp 100 ribu per hari.