Selasa 30 Jul 2019 19:01 WIB

Larangan Iklan Rokok Bakal Masuk Klausul Perda KTR Solo

Ada 1.472 iklan, promosi, dan sponsor rokok di berbagai tempat.

Rep: Binti Sholikah/ Red: Yusuf Assidiq
Rokok
Rokok

REPUBLIKA.CO.ID, SOLO -- Larangan iklan, promosi, dan sponsor rokok bakal dimasukkan ke dalam klausul Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) tentang Kawasan Tanpa Rokok (KTR) di Kota Solo, Jawa Tengah. Raperda KTR segera disahkan menjadi Perda KTR dalam beberapa pekan ke depan.

Wakil Ketua Panitia Khusus (Pansus) Raperda KTR, Sugeng Riyanto, mengatakan Raperda KTR sudah diusulkan sejak dua atau tiga tahun lalu. Namun, baru masuk pembahasan DPRD di akhir masa periode 2014-2019. Raperda KTR merupakan usulan dari Pemerintah Kota Solo.

Hal itu menandakan ada komitmen dari pemkot untuk menjadikan Solo sebagai kota yang memberikan perlindungan kepada masyarakatnya dari paparan asap rokok, dan masyarakat mendapatkan hak asasi untuk sehat.

Salah satu latar belakangnya, selama tiga tahun berturut-turut Solo mendapatkan predikat Kota Layak Anak (KLA) kategori Utama. Kota Solo belum mendapat predikat KLA paripurna karena masih mengakomodasi iklan ruangan, dan kegiatan yang sponsornya rokok.

"Anehnya di draf raperda tidak ada klausul pasal yang mencantumkan larangan iklan, promosi, dan sponsor rokok. Kami di pansus kemudian sampai hari ini belum memasukkan larangan itu meskipun di pembahasan-pembahasan terakhir sudah mulai masuk agar Perda KTR di Solo mengakomodasi ada pengaturan iklan rokok luar ruangan," ujar Sugeng, dalam diskusi bertema "Urgensi Lindungi Anak Surakarta dari Target Industri Rokok", Selasa (30/7).

Ia menjelaskan, iklan atau promosi bukan kategori kawasan. Mungkin hal itu menjadikan pemkot tidak memasukkan klausul pasal tentang larangan atau pengaturan iklan, promosi, dan sponsor rokok.

Di dalam Raperda KTR, muncul lima kawasan yang tidak boleh ada rokok, iklan, promosi, dan sebagainya. Misalnya, tempat penyelenggaraan pendidikan, tempat bermain anak-anak, tempat ibadah, dan tempat olahraga.

Namun, ada tempat umum yang memungkinkan untuk adanya iklan dan promosi. Sugeng menambahkan, dalam pembahasan terakhir Raperda KTR, Pansus sudah sampai pada memasukkan pasal iklan. Namun, Bagian Hukum pemkot berkeras Perda KTR tidak boleh bicara soal iklan.

Sebab, hal itu akan dibahas di Raperda Reklame yang akan diajukan tahun depan. Raperda Reklame akan mencantumkan secara jelas larangan iklan rokok. Menurut Sugeng, saat ini ada peluang memasukkan larangan iklan di Perda KTR.

Toh, beberapa pemerintah daerah lain sudah memasukkan pasal-pasal itu dan tidak masalah. "Kami konsultasi ke Kemenkes, Kemenkes berpesan agar daerah berpartisipasi aktif untuk menekan laju pertumbuhan perokok pemula. Yang paling besar memberikan pengaruh adalah iklan. Dalam waktu tersisa sepekan terakhir kami akan pastikan di Pansus, larangan iklan akan bisa masuk di perda kita," ungkapnya.

Ketua Yayasan Lentera Anak, Lisda Sundari, menyatakan anak-anak tepapar iklan dan promosi rokok hampir di semua tempat. Seperti jalan raya, warung, sekitar minimarket, persimpangan jalan, sekitar sekolah, sekitar kuliner, sekitar ikon kota, tempat tambal ban dan bengkel, taman, dan lain sebagainya.

Hasil survei Yayasan Lentera Anak di lima kota pada 2015 menunjukkan 85 persen sekolah dikelilingi iklan rokok. Indonesia menjadi satu-satunya negara di Asean yang masih membolehkan iklan, promosi dan sponsor rokok.

Anak-anak mudah mengakses rokok karena harganya murah dan dapat dibeli dimana saja tanpa penolakan. Hal itu menyebabkan prevalensi perokok anak terus meningkat dari 7,2 persen pada 2013 menjadi 9,1 persen pada 2018 atau setara 7,8 juta anak.

Padahal, RPJMN 2019 menargetkan prevalensi perokok anak turun menjadi 5,4 persen. "Artinya negara ini gagal mendidik anak-anak kita untuk tidak menjadi perokok," ujar Lisda.

Lisda menjelaskan, iklan rokok harus dilarang karena rokok mengandung zat adiktif, rokok bukan produk normal karena dikenai cukai, dan untuk mengendalikan konsumsi rokok. Sebab, pelarangan iklan promosi rokok di dunia akan mengurangi penggunaan tembakau global sebesar 30 persen pada 2025.

Selain itu, untuk melindungi anak-anak dari target pemasaran industri rokok dan mencegah anak-anak mulai merokok. Di Indonesia ada 247 kabupaten/kota mendapatkan predikat KLA. Secara rinci, 135 kabupaten/kota KLA Pratama, 86 kabupaten/kita KLA Madya, 23 kabupaten/kota KLA Nindya, dan tiga kota KLA Utama yakni Solo, Surabaya, dan Denpasar.

Kendala utama Kota Solo tidak naik menjadi KLA paripurna karena iklan rokok. "Kami dorong Pemkot Solo supaya segera mewujudkan KLA pada 2020. Lima tahun cukup mempersiapkan diri untuk itu. Kalau Perda KTR bisa melarang iklan rokok saya yakin 2020 Kota Solo mendapat predikat KLA," papar Lisda.

Sementara itu, Direktur Eksekutif Yayasan Kakak, Solo, Shoim Sahriyati, memaparkan hasil monitoring iklan, promosi, dan sponsor rokok yang dilakukan Forum Anak Kota Surakarta menemukan ada 1.472 iklan, promosi, dan sponsor rokok di berbagai tempat. "Ini menunjukkan perlunya pelarangan iklan, promosi dan sponsor rokok di Kota Solo untuk melindungi anak-anak dari target industri rokok," kata Shoim.

Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan, Perlindungan Anak, dan Pemberdayaan Masyarakat (DP3AP) Kota Solo, Widdi Srihanto, mengatakan pemkot sudah berusaha untuk percepatan proses regenerasi bangsa melalui program KLA sejak 2006.  Sampai sekarang Kota Solo mempertahankan KLA Utama. Kota Solo belum bisa naik ke KLA paripurna karena ada beberapa hal seperti KTR.

Meskipun, sudah ada aturan larangan merokok di kawasan tertentu seperti di Balai Kota. "Mindset ini bukan program dinas tapi program pemkot untuk pelayanan terbaik di bidang kesehatan. Tidak mungkin dilaksanakan hanya pemkot dan DPRD. Ini bisa tercapai kalau gotong royong," ujarnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement