REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kasasi yang diajukan Presiden Joko Widodo (Jokowi) terkait kasus kebakaran hutan dan lahan (karhutla) di Kalimantan Tengah ditolak oleh Mahkamah Agung (MA). Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menanggapi vonis bersalah dari MA terkait karhutla oleh pemerintah.
Diketahui, gugatan dilandasi peristiwa karhutla pada 2015 yang menghanguskan sekitar 2,6 juta hektare lahan dan hutan. Menteri LHK Siti Nurbaya Bakar mengatakan, ketika pemerintahan Presiden Jokowi menjabat kurang dari setahun, gugatan tersebut dilayangkan.
Karhutla, kata dia, sebelum pemerintahan Presiden Jokowi sudah rutin dan masif terjadi selama hampir 20 tahun.
"Waktu baru menjabat, Presiden dan kita semua sebenarnya sudah mengikuti gerak hotspot atau titik apinya dengan turun ke lapangan. Tapi sayangnya memang tidak tertolong, titik api sudah membesar di 2015," kata Siti dalam keterangan tertulis yang diterima Republika, Ahad (21/7).
Karena baru menjabat, Siti mengatakan, pihaknya merasa perlu mempelajari terlebih dulu penyebab karhutla. Sehingga hal tersebut diharapkan dapat menjadi acuan dalam pembenahan ke depannya.
Dia mengungkapkan karhutla dulunya disebabkan persoalan berlapis di tingkat tapak, mulai lemahnya regulasi hingga pada oknum masyarakat dan korporasi yang sengaja membakar atau lalai menjaga lahan mereka.
Siti membeberkan, modus yang banyak dilakukan adalah konsesi buka lahan pakai kontraktor dengan memerintahkan rakyat untuk membakar, setelah itu lari dari tanggung jawab. Hal itu menurutnya terus terjadi dan terus terjadi berulang.
"Dulu penegakan hukumnya lemah sekali, tata kelola lahannya kacau, ada korporasi besar tapi tak punya peralatan pemadaman, penetapan status yang lamban karena kepemimpinan di daerah lemah, alih fungsi lahan yang bermasalah, izin yang tidak sesuai peruntukan, dan banyak sekali masalah lainnya," kata dia.
Sehingga ketika kejadian karhutla 2015 itu berlangsung, pihaknya masih memetakan masalahnya. Setelah itu, terdapat Instruksi Presiden terkait karhutla yang berisi tentang perbaikan, pembenahan, dan antisipsi karhutla. Apalagi, kata dia, jangan sampai terjadi lagi asap lintas batas ke negara tetangga.
Berbagai kebijakan yang dilakukan guna mencegah karhutla terjadi kembali, kata Siti, di antaranya dengan keluarnya Instruksi Presiden Nomor 11 Tahun 2015 tentang Peningkatan Pengendalian Karhutla, Inpres Nomor 8 Tahun 2018 tentang Moratorium Izin, Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 57 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2014 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut, hingga pembentukan Badan Restorasi Gambut (BRG).
Sementara itu, KLHK mengeluarkan kebijakan krusial seperti Peraturan Menteri LHK Nomor 32 Tahun 2016 tentang Pengendalian Karhutla, membenahi tata kelola gambut dengan baik dan berkelanjutan melalui pengawasan izin, penanganan dini melalui status kesiagaan dan darurat karhutla, dan berbagai kebijakan teknis lainnya.
''Jadi, paradigma menangani karhutla berubah total. Kalo dulu, api sudah besar saja belum tentu Pemdanya bertindak. Pemerintah pusat juga gak bisa bantu karena harus menunggu status dulu. Harus nunggu api besar dulu baru dipadamkan, itu yang menyebabkan bencana berulang-ulang. Kalau sekarang kita antisipasi dari hulu hingga ke hilir," kata Siti.