Selasa 21 May 2019 14:56 WIB

Tegang Menanti 22 Mei 2019

Mengambil jeda dari hiruk pikuk pemilu bisa membantu kesehatan mental Anda.

Personel korps Brimob memasang kawat berduri di kawasan Kantor Bawaslu, Jakarta, Selasa (21/5/2019).
Foto: Antara/Aprillio Akbar
Personel korps Brimob memasang kawat berduri di kawasan Kantor Bawaslu, Jakarta, Selasa (21/5/2019).

REPUBLIKA.CO.ID, oleh: Indira Rezkisari*

Tegang. Mungkin itu yang ada di benak banyak orang Indonesia menanti keputusan hasil rekapitulasi penghitungan suara pemilu 2019. Ya, hasilnya memang sedikit banyak sudah bisa diketahui.

Baca Juga

Pasangan nomor urut 01 Joko Widodo dan KH Ma’ruf Amin memenangkan pemilu dengan 85 juta suara, mengalahkan pasangan nomor urut 02 Prabowo dan Sandiaga Uno dengan 68 juta suara.

Beberapa tahun terakhir ketegangan politik tidak hanya terjadi di kalangan elite. Bila dulu rakyat cuek dengan apa yang terjadi di level politik tingkat tinggi, rasanya sekarang sudah berubah drastis. Ibaratnya rakyat ikut pusing kalau elite politiknya pusing akibat beradu dengan elite politik lain.

Kubu politik pun tercipta. Pembela garis keras bahkan muncul. Akibatnya? Masyarakat terkotak-kotak.

Saya ingat unggahan Facebook seorang teman saya setelah dia buka puasa bersama dengan teman-temannya. Katanya, dia salut karena teman-temannya yang memiliki pilihan politik berbeda mau datang dan melupakan perbedaan itu.

Demi apa? Mungkin demi melepas rindu pada teman-temannya yang sudah lebih lama dikenal dibanding petinggi politik. Atau mungkin juga karena mereka bersedia berbesar hati, menerima perbedaan, kekalahan, dan kemenangan dengan ikhlas.

Hasilnya apa? Kata dia, ada kebahagiaan tersendiri melihat teman-temannya yang dulu ribut soal politik di Facebook atau WhatssApp Group mau duduk satu meja dan makan bersama. Bahkan tertawa, mungkin mengenang masa lalu.

Tapi belum semua orang bisa ikhlas menerima kekalahan. Apa yang terjadi di Indonesia bisa jadi mirip dengan pemilu 2016 di Amerika. Kala itu bahkan dunia sulit percaya bahwa Donald Trump keluar sebagai pemenang. Bagi pendukung pasangan yang kalah, kekalahan jagoannya sulit dipercaya.

Sebanyak 52 persen orang Amerika menderita stres akibat pemilu 2016, demikian menurut survei daring yang dibuat oleh American Psychological Association melalui metode Harris Poll. Jajak pendapat dilakukan kepada 3.511 orang dewasa di atas usia 18 tahun yang tinggal di Amerika pada 5-31 Agustus 2016.

Bila menduga kalau rakyat Amerika yang stres adalah mereka yang tidak rela Trump menang, ternyata belum tentu. Survei justru memperlihatkan level stres orang Amerika akibat pemilu dirasakan jelas kedua kubu.

Apakah ia merupakan pendukung Demokrat atau Republikan, ternyata peneliti menemukan masyarakat Amerika mengalami stres tinggi akibat pemilu. Bahkan mereka yang disurvei dan merupakan pendukung Trump tercatat lebih banyak yang stres dibandingkan pendukung Partai Demokrat. Angkanya 55 persen pendukung Demokrat stres akibat pemilu dan 59 persen pendukung Republikan mengalami kondisi stres yang sama.

Artinya apa? Artinya, apapun itu partai yang dipilih, keluar sebagai pemenang atau tidak tapi tegangan tinggi politik telah mempengaruhi kondisi mental seseorang.

Di Indonesia, KPU sudah mengumumkan pemenang pemilu 2019. Rakyat kecil seperti saya tapi masih stres. Apalagi muncul kabar kalau gelombang massa besar akan datang ke Ibu Kota. Menyuarakan kekecewaannya, mungkin, terhadap pemilu yang disebut berjalan penuh kecurangan dan tidak profesional.

Sekolah-sekolah yang berdekatan dengan lingkaran satu Ibu Kota bahkan ada yang diliburkan. Perkantoran sedang menunggu kepastian apakah akan buka normal pada 22 Mei atau meliburkan saja karyawannya.

Memang apapun itu hasil pemilu, rakyat Indonesia belum tentu semuanya bisa menerima dengan lapang dada dan besar hati. Saya mau berkata, cobalah untuk ikhlas meski sulit.

Mungkin Anda bisa menghindari dulu dari media sosial dan berbagai berita di media daring atau elektronik. Asosiasi Psikolog Amerika pernah mengeluarkan rekomendasi pascapemilu 2016 di AS. Menghindari diri dari terlalu banyak berita diperlukan untuk menjaga kesehatan mental.

Ya betul, sangat penting untuk memahami informasi yang beredar. Tapi jika berita yang Anda simak membuat level stres meningkat maka batasi diri. Bukan berarti Anda tidak mengetahui berita apapun, tapi coba ciptakan garis batas yang sehat dengan berita. Baca secukupnya agar tahu kondisi, lalu beristirahatlah. Hal yang sama bisa berlaku pula untuk media sosial.

Mengambil jeda mungkin akan membantu mengurangi level stres Anda. Bagi saya cara ini cukup berhasil, ketika berhadapan dengan kondisi dunia yang membuat stres.

Satu lagi yang bisa dipraktikkan di era politik ini. Psikolog Rose Mini pernah mengatakan, jangan dibuat pening atas sesuatu yang belum terjadi. Hanya karena presidennya sama atau baru, jangan keburu pesimistis kalau masa depan tidak akan bisa baik. Mengkhayal seperti apa masa depan tidak akan membuat Anda hidup lebih baik di masa kini. Justru yang bisa terjadi adalah Anda terjebak pada stres dan ketegangan yang tidak produktif.

Mari yakini, dengan usaha dan kerja keras maka Indonesia bisa jadi negara yang lebih baik. Seorang Presiden tidak akan mampu memperbaiki nasib bangsa tanpa bantuan dan doa warganya.  

Aksi apapun yang terjadi di 22 Mei mari lihat saja sebagai bentuk penyampaian pendapat. Semua orang boleh melakukan itu bukan?

Semoga aksi 22 Mei berjalan damai bagi seluruh bangsa Indonesia, bukan hanya bagi segelintir golongan.

* penulis adalah redaktur Republika.co.id

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement