Jumat 17 May 2019 09:44 WIB

Ibu Kota Pindah, Interaksi Ekonomi Kawasan Timur Terpacu

Pemerintah jangan hanya fokus pembangunan fisik kota tapi juga wilayah satelit

Rep: Dedy Darmawan Nasution/ Red: Esthi Maharani
Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas Bambang Brodjonegoro (kanan) memaparkan rencana pemindahan ibu kota dalam sebuah diskusi di Jakarta, Senin (6/5/2019).
Foto: Antara/Akbar Nugroho Gumay
Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas Bambang Brodjonegoro (kanan) memaparkan rencana pemindahan ibu kota dalam sebuah diskusi di Jakarta, Senin (6/5/2019).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Pakar Tata Kota dari Universitas Trisakti, Yayat Supriatna, mengatakan, pembangunan ibu kota baru yang menyasar wilayah kalimantan bakal mendorong perubahan kegiatan ekonomi Indonesia secara nasional. Terutama, dalam interaksi ekonomi di wilayah kawasan timur Indonesia.

Yayat mengatakan, Kalimantan merupakan daerah yang minim akan bahan material pembangunan, khususnya pasir dan batu. Sementara, Sulawesi merupakan wilayah yang memiliki banyak cadangan material untuk pembangunan fisik kota.

“Otomatis, harus ambil dari Sulawesi karena Kalimantan tidak punya pasir dan batu. Jadi dari sini sudah kelihatan akan ada potensi interaksi ekonomi kawasan timur,” ujar Yayat di Jakarta, Kamis (17/5).

Hal itu secara langsung akan meningkatkan interaksi perdagangan di Alur Laut Kepulauan Indonesia II yang melintasi laut Sulawesi, Selat Makassar, Laut Flores, dan Selat Lombok. Di satu sisi, Provinsi Sulawesi Selatan saat ini menjadi salah satu sentra bahan pangan pokok yang dapat memasok kebutuhan ibu kota baru.

“Ada kebangkitan ekonomi yang bisa mendorong perubahan dan mempengaruhi pola gaya hidup dalam melakukan aktivitas ekonomi,” katanya.

Di satu sisi, industri-industri pengolahan yang terdapat di Pulau Kalimantan secara langsung akan terdorong untuk melakukan diversifikasi produk. Itu dapat terjadi karena industri bakal melihat potensi pasar baru jika kota pusat pemerintahan nantinya benar dibangun. Karena itu, akan ada geliat ekonomi dalam skala besar yang dapat ditimbulkan dari pembangunan tersebut.

Hanya saja, Yayat mengingatkan pemerintah untuk tidak hanya fokus pada pembangunan fisik kota. Namun harus mengembangkan wilayah-wilayah satelit agar kegiatan di ibu kota tetap hidup.  Sebab, berbeda dengan Jakarta yang menjadi pusat bisnis dan pemerintahan, ibu kota baru nantinya hanya untuk pusat pemerintahan.

“Jadi, bagaimana ibu kota ini bisa di back up oleh dua, tiga kota disekitarnya yang bisa terus mendorong aktivitas. Konsep apa yang bisa dikembangkan? Disinilah banyak celah,” ujarnya.

Sebelumnya, Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN/Bappenas), Bambang Brodjonegoro, mengungkapkan, Indonesia masih memiliki potensi pelebaran kesenjangan antara kawasan barat dan timur. Hal itu diungkapkan Bambang setelah mempelahari laju pertumbuhan ekonomi Indonesia antara kawasan barat dan timur yang tidak seimbang.

Badan Pusat Statistik (BPS) menyatakan pertumbuhan ekonomi Indonesia sepanjang kuartal I 2019 sebesar 5,07 persen. Kontribusi terhadap produk domesti bruto (PDB) terbesar masih terdapat di Pulau Jawa sebesar 59,03 persen. Kedua terbesar diikuti oleh Pulau Sumatra dengan 21,36 persen.

Kontribusi terhadap PDB selanjutnya ketiga diikuti oleh Kalimantan 8,26 persen, Sulawesi 6,14 persen Bali dan Nusa Tenggara 3,02 persen serta terakhir Maluku dan Papua 2,19 persen.

Bambang menegaskan, data-data itu menunjukkan bahwa pertumbuhan di kawasan barat Indonesia lebih mendominasi. Di sisi lain, jika ditelusuri lebih dalam, ia mengemukakan, laju pertumbuhan kawasan barat jauh lebih cepat dibanding kawasan timur Indonesia. 

“Artinya potensi kesenjangan makin melebar. Bukan mengecil. Ini agak mengkhawatirkan karena selain barat sudah mendominasi tumbuhnya lebih cepat pula,” kata Bambang.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement