Senin 29 Apr 2019 10:30 WIB

Dikritik ICW karena Vonis Koruptor Rendah, Ini Jawaban KPK

KPK telah berdiskusi dengan ICW soal rendahnya hukuman koruptor.

Rep: Dian Fath Risalah/ Red: Teguh Firmansyah
Komisi Pemberantasan Korupsi
Foto: ANTARA
Komisi Pemberantasan Korupsi

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Saut Situmorang menanggapi hasil penelitian Indonesian Corruption Watch (ICW) terkait meningkatnya vonis rendah untuk koruptor pada 2018. KPK mengaku telah menjalankan fungsi seharusnya.

"KPK more than happy atas masukan ICW, termasuk inovasi yang harus dilakukan dalam menangani petty corruption atau korupsi Rp50 ribu, Rp10 ribu (negara harus zero tolerance)," kata Saut saat dikonfirmasi, Senin (29/4).

Baca Juga

Menurut Saut, ia sependapat dengan masukan ICW soal rekomendasi negara perlu melakukan tindakan untuk kasus-kasus korupsi yang nilainya kecil. Negara bisa melakukan pemecatan atau menurunkan pangkat pegawai yang terlibat. 

"Sependapat dimana KPK juga perlu rekomendasikan ke pada otoritas administration negara melakukan tindakan, mislanya dipecat, didenda, turunkan pangkat atau sanksi sosial bekerja dirumah jompo dan lain-lain," ujarnya

Sementara terkait rendahnya vonis untuk para pelaku tindak pidana korupsi, Saut mengatakan, KPK sendiri telah banyak berdiskusi dengan ICW soal masukan dari masyarakat terkait rendahnya hukuman untuk para koruptor.

Namun, kata dia, yang perlu mendapat penekanan ialah bahwa tidak saja pada penilaian berat ringannya  hukuman  dalam membangun peradaban tersebut.

"Yang lebih  utama adalah membangun peradaban kepastian hukum bagi para koruptor di mana didalamnya juga ada nilai nilai keadilan itu sendiri," tegasnya.

Karena, sambung Saut, posisi KPK  telah melakukan sesuai dengan kewenangannya yakni menjatuhkan hukuman ‎yang sesuai untuk para pelaku korupsi lewat jaksa penuntut. Namun, keputusan atau hasil akhir tetap ada ditangan hakim yang memutus perkara.

"Di luar posisi Jaksa penuntut (pimpinan KPK memutuskan tuntutan lewat diskusi dengan jaksa penuntut akan dituntut berapa tahun), posisi yang mulia hakim merupakan putusan yang harus benar-benar dihargai (Apakah dikurangi atau ditambahi oleh yang mulia) itu sebenarnya merupakan bagian dari chek and balances agar potensi konflik kepentingan menjadi minim," terangnya.

Dari hasil pantauan Indonesia Corruption Watch (ICW), rata-rata putusan pada seluruh tingkat pengadilan masih terbilang ringan yaitu, dua tahun lima bulan. Ada sedikit peningkatan dari rata-rata vonis perkara korupsi pada tahun 2017 yaitu, dua tahun dua bulan, 2016 juga selama dua tahun dua bulan.

Peneliti ICW Lalola Easter mengatakan, ICW memahami bahwa penjatuhan putusan dipengaruhi oleh berbagai hal. Namun mengingat seriusnya masalah korupsi di Indonesia, sektor penegakan hukum diharapkan dapat menjadi salah satu ujung tombak upaya pemberantasan korupsi. "Salah satunya melalui hukuman yang menjerakan terdakwa," kata Lalola di Kantor ICW Jakarta, Ahad (28/4).

Menurutnya, jika hukuman badan atau pidana penjara tidak dipandang sebagai cara ampuh dalam menjerakan pelaku korupsi, mekanisme lain yang dapat ditempuh seperti pemidanaan secara finansial. Sayang pidana tambahan uang pengganti dan kombinasi dakwaan dengan UU TPPU juga tidak dilakukan secara maksimal.

"Hal-hal di atas akan semakin diperparah dengan proses pemasyarakatan bagi para terpidana korupsi," ucapnya.

Praktik koruptif dalam lapas juga masih jamak, sehingga OTT yang dilakukan oleh KPK terhadap Kalapas Sukamiskin misalnya, tidaklah terlalu mengagetkan. Artinya, kata dia, keseluruhan keseluruhan pemidanaan di  Indonesia  masih problematik.

Bahkan, pidana berat yang dituntut oleh  penuntut umum dan dijatuhkan oleh pengadilan akan menjadi sia-sia jika proses pemberian remisi maupun pembebasan bersyarat masih longgar. Hal itu diperparah dengan masih maraknya praktik koruptif di lapas.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement