REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kepala Pusat Penelitian Politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Firman Noor memandang pengajak orang untuk menjadi golongan putih (golput) merupakan bagian dari demokrasi. Karena itu, ia menolak pernyataan Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan HAM Wiranto yang menyatakan pengajak golput dapat dipidana.
Firman meminta pemerintah tak merespons pengajak golput secara berlebihan. "Kalau dia sampaikan aspirasi pemikiran sejauh tidak langgar Undang-Undang dan kriminal, saya kira itu sebagai bagian dari penyampaian pemikiran. Itu bagian dari kebebasan berkumpul, mengeluarkan pendapat," katanya pada Republika.co.id, Rabu (27/3).
Firman menjelaskan golput merupakan hak politik warga negara. Ia menambahkan setiap warga negara yang menjadi golput dapat memiliki sejumlah alasan. Kemudian, warga negara tersebut dapat mengutarakan sejumlah alasan tersebut kepada pihak lain.
"Kalau dia merasa aspirasinya tidak tertangkap dan apa yang harusnya dapat perhatian, tetapi kurang, jadi buat apa memilih? Kemudian dia sampaikan ke orang dengan alasan itu, terserah orang mau terima atau tidak," ujarnya.
Untuk itu, menurut dia, pernyataan Wiranto yang akan mempidanakan pengajak golput dengan UU Terorisme, UU ITE, atau KUHP tak sejalan dengan prinsip demokrasi. Negara demokrasi, kata dia, membebaskan warganya berpikir dan bersikap.
"Kalau dampak kan masih perkiraan, ini bukan ke dampaknya tapi apakah pemikiran itu sesuai dengan spirit demokrasi. Tentu (pemidanaan pengajak golput) tidak tepat dengan spirit demokrasi," ucapnya.