Selasa 29 Jan 2019 13:05 WIB

RSHS Gandeng Singapura Kembangkan Perawatan Paliatif

Pasien dibantu agar merasa tenang bahkan tetap optimistis dalam menjalani hidup.

Rep: Arie Lukihardianti/ Red: Dwi Murdaningsih
Mendeteksi kanker dengan kamera ponsel. Ilustrasi
Foto: Mashable
Mendeteksi kanker dengan kamera ponsel. Ilustrasi

REPUBLIKA.CO.ID,BANDUNG -- Rumah Sakit Hasan Sadikin (RSHS) bersama Yayasan Kanker Indonesia cabang Jawa Barat dan Singapore International Foundation mengembangkan pelatihan perawatan paliatif untuk membantu pengidap kanker. Menurut Ketua Tim Paliatif RSHA Bandung Gatot Nyarumenteng kerja sama ini dijalin dengan didasari semakin meningkatknya penderita kanker di Jawa Barat dari 10:100 ribu menjadi 21:100 ribu.

Gatot mengatakan, perawatan paliatif ini bertujuan untuk meringankan penderitaan psikis dan fisik yang dirasakan pasien kanker. Ini mengingat besarnya risiko penyakit tersebut terutama pada stadium akhir.

"Jangankan sudah stadium akhir, di (stadium) awal saja kalau orang divonis kanker, psikisnya pasti kena," ujar Gatot di RSHS Bandung, Senin (28/1). 

Selain meringankan beban mental yang dirasakan, kata Gatot, metode paliatif ini sangat membantu untuk perawatan fisik pasien. Dalam perawatan paliatif ini, pasien akan dibantu psikisnya agar merasa tenang bahkan tetap optimistis dalam menjalani hidup. 

Gatot mencontohkan, keluarga dan petugas medis harus tahu cara memompa semangat penderita agar pikirannya menjadi tenang dan kembali optimis.

Tak hanya psikis, kata Gatot, dalam paliatif pun terdapat tata cara perawatan fisik untuk meringankan rasa sakit yang diderita pasien. Sebagai contoh, keluarga atau petugas medis harus mengetahui dampak yang ditimbulkan akibat pasien terlalu lama berbaring di tempat tidur.

"Lama-lama ada luka. Kita harus merawat luka itu sebelum tambah lecet. Kita ajarkan bagaimana tidur miring, dikasih minyak badannya agar tidak luka," katanya.

Gatot pun mengingatkan pentingnya rasa kasih sayang dan perhatian yang harus diberikan kepada penderita kanker terutama stadium akhir. Ia mencontohkan, pasien stadium akhir tidak boleh dipaksa makan meski dengan alasan pengobatan. 

 "Kalau pasien akhir enggak mau makan, jangan dipaksa. Itu akan bikin pasien tambah stres, tambah sakit," katanya.

Menurutnya, pasien cukup ditanya apa yang diinginkan dan harus segera dipenuhi. "Kita cukup penuhi maunya apa. Usahakan kita harus memenuhi keinginannya di masa-masa terakhir ini," katanya.

Adapun indikator perawatan paliatif yang baik, kata dia, dapat terlihat dari beberapa hal. Pertama, pasien kanker dengan stadium akhir akan merasa lebih tenang meskipun usianya diprediksi tidak akan lama lagi. Selain psikis, rasa sakit fisik yang diderita pun akan berkurang karena perawatan paliatif yang baik. 

"Misalnya skala nyeri di stadium akhir ini 10, yang paling sakit. Tapi kalau paliatifnya baik, ya bisa diturunkan jadi enam," katanya.

Selain terhadap pasien, kata dia, keluarga terdekat pun akan lebih tenang dalam menghadapi cobaan hidup yang menimpa orang terdekatnya itu. "Karena paliatif ini sampai menangani keluarga juga. Pasien meninggal, keluarganya harus ditangani di masa berkabung, agar tidak larut dalam kesedihan," katanya.

Namun, Gatot mengakui perawatan paliatif ini belum dikenal baik di Indonesia. Masyarakat belum banyak yang menyadari pentingnya metode ini dalam menangani pasien kanker.

Bahkan, kata dia, tak hanya keluarga pasien, petugas medis terutama di puskesmas pun banyak yang belum memahami pentingnya metode penanganan bagi penderita kanker ini. Padahal seharusnya, perawatan paliatif bisa diberikan sejak stadium awal saat pertama kali pasien divonis penyakit tersebut.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement