Jumat 21 Dec 2018 19:10 WIB

'Bela Negara Era Milenial Harus Diaktualisasikan'

Ancaman sekarang datang dalam bentuk ekonomi, politik, kebudayaan, dan teknologi.

Pakar psikologi politik Universitas Indonesia, Hamdi Muluk.
Foto: Republika/Wihdan H
Pakar psikologi politik Universitas Indonesia, Hamdi Muluk.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Bela Negara merupakan wadah peran dan kontribusi segenap komponen masyarakat yang harus diaktualisasikan baik dari dunia usaha, dunia pendidikan, media, hingga tokoh pemuda, tokoh agama, dan seluruh elemen bangsa pada bidang profesi masing-masing. Hal ini sebagai upaya agar masyarakat mencintai bangsa ini sekaligus untuk membentengi masyarakat agar terhindar dari berbagai macam bentuk upaya adu domba dan paham radikal terorisme.

“Di zaman sekarang ini Bela Negara itu tidak hanya dilakukan dengan kekuatan fisik dan angkat senjata saja, namun harus dilakukan melalui beragam upaya dan profesi. Seluruh komponen bangsa dan negara baik itu masyarakat sipil maupun militer yang saat ini tengah berjuang melakukan tugasnya di seluruh penjuru pelosok Tanah Air sesungguhnya juga sedang melakukan upaya Bela Negara,” kata Guru Besar Psikologi Politik, dari Universitas Indonesia, Prof Dr Hamdi Muluk, Kamis (20/12).

Dirinya menjelaskan dalam kacamata psikologi, untuk menumbuhkan semangat patriotisme, ikhlas dan pantang menyerah dalam melakukan upaya bela negara maka seluruh komponen bangsa sudah semestinya untuk  belajar dan menghayati betul betul sejarah pembentukan bangsa Indonesia ini yang tidak mudah.

“Karena sesungguhnya secara fisik yang namanya tanah Indonesia itu awalnya tidak ada. Indonesia ini dulu  adalah komunitas “yang dibayangkan” (imagined community) yang secara sengaja dibentuk lewat proses sosial politik yang tidak mudah,” ujarnya .

Lebih jauh dirinya menceritakan, hal ini terlihat mulai dari sejarah berdirinya organisasi Budi Utomo, Kongres Pemuda (yang melahirkan Sumpah Pemuda) yang selanjutnya berproses terus menjadi ‘Indonesia’. Hal tersebut tentunya untuk mengatasi fakta-fakta sosial kongkrit yang sudah ada berates-ratus tahun lamanya seperti masalah suku, agama, kelompok dan daerah-daerah.

“Titik kulminasinya yakni Proklamasi Kemerdekaan RI tahun 1945. Kemudian ada empat konsensus dasar ini yakni Pancasila, UUD 1945, NKRI, dan Bhinneka Tunggal Ika, yang memang sudah harga mati dan tidak boleh lagi dipertanyakan. Empat konsensus dasar ini tentunya jangan diubah lagi, tapi bagaimana mengartikan dan mengejawantahkannya (mewujudkan, melaksanakan, memanifestasikan) sesuai jaman boleh saja, dan bahkan harus,” kata pria kelahiran Padang Panjang 31 Maret 1966 ini.

Berangkat dari kesadaran seperti inllah menurutnya bahwa membela negara itu suatu hal yang tidak akan pernah berhenti, karena ancaman terhadap empat konsesus dasar tadi selalu ada, baik dari dalam dan dari luar.

“Sekarang kita sudah menerima bentuk ‘fisik’ negara Indonesia. Dari Sabang sampai Merauke, tapi tetap Plural (Bhinneka Tunggal Ika), harus diterima kenyataan itu. Jadi Indonesia ini harus dipahami sebagai kesinambungan antara aspek masa lalu (keadaan sejarah), masa kini, tantangan kekinian yang harus dijalani, dan harapan ke masa depan,” ujar Hamdi.

Berangkat dari kesadaran tersebut, ancaman fisik kolonialisme tidak lagi seperti dulu, Menurutnya, ancaman sekarang datang dalam bentuk ekonomi, politik, kebudayaan, teknologi, energi, pangan dan sebagainya. Untuk itu tantangan sekarang ini adalah bagimana memperkuat diri di dalam dalam seluruh aspek mulai dari  kedaultan (militer), keamanan dalam negeri (Polri) serta seluruh sektor ekonomi, politik, kebudayaan, teknologi, energi, pangan dan sebagainya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement