Sabtu 24 Nov 2018 19:12 WIB

Fitra Kritisi Kebijakan Insentif untuk Aparatur Desa

Pemberian insentif untuk aparatur desa dinilai akan mempengaruhi alokasi dana desa.

[ilustrasi] Presiden Joko Widodo (kiri) melayani permintaan tanda tangan dari peserta saat menghadiri Sarasehan Pengelolaan Dana Desa Se-Jateng Tahun 2019, di Semarang, Jawa Tengah, Kamis (22/11/2018).
Foto: Antara/Aji Styawan
[ilustrasi] Presiden Joko Widodo (kiri) melayani permintaan tanda tangan dari peserta saat menghadiri Sarasehan Pengelolaan Dana Desa Se-Jateng Tahun 2019, di Semarang, Jawa Tengah, Kamis (22/11/2018).

REPUBLIKA.CO.ID, MEULABOHN-- Seketariat Nasional Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Seknas Fitra) tidak sepakat dengan rencana pemerintah memberikan insentif berupa dana operasional kepada aparatur desa di Indonesia. Fitra meminta pemerintah mengkaji kembali kebijakan itu.

"Harus dikaji ulang lebih dalam kebijakan itu, jangan sampai terdampak pada APBN karena itu pasti akan berpengaruh terhadap ADD," kata Research and Advocacy Manager Seknas Fitra, Badiul Hadi, saat di temui di Meulaboh, Aceh Barat, Sabtu (24/11).

Alokasi Dana Desa (ADD) rencananya akan dikucurkan sebesar Rp 73 triliun pada 2019. Dengan lahirnya kebijakan itu, maka Rp 3 triliun akan digunakan untuk pembiayaan operasional aparat desa.

Badiul sadar, bahwa rencana pemberian dana operasional kepala desa dan perangkatnya dengan dana dari pemerintah pusat tersebut untuk mencegah adanya tindak pidana korupsi penggelolaan dana desa pada 75 ribu desa di Indonesia. Menurut Seknas Fitra, kebijakan Kementrian Dalam Negeri (Kemendagri) tersebut kurang efektif karena hanya muncul tiba-tiba pascaevaluasi empat tahun penyaluran dana desa, sebab banyak ditemukan kasus korupsi di level desa.

"Insentif itu itikat baik pemerintah agar perangkat desa tidak korupsi, itu sebenarnya untuk pencegahan korupsi saja. Harusnya ada solusi lain, jangan sampai terbeban pada APBN untuk alokasi dana desa yang sudah jelas," ungkapnya lagi.

Badiul Hadi berkata untuk mengukur kesejahteraan aparatur desa itu relatif. Sebab ADD yang juga ditambah dengan APBD di setiap daerah sudah jelas penggunaannya untuk tunjangan dan operasional aparatur desa dan itu sudah klir.

Seknas Fitra melihat proses pengelolaan dana desa yang sebenarnya menjadi masalah, perencanaan penganggaran dilevel desa belum maksimal dilakukan, masih setengah hati, partisipasi masyarakat tidak maksimal. Kebijakan penganggaran untuk kegiatan dilevel desa basisnya kepentingan politik elit desa, bukan basis kebutuhan masyarakat, ketika kebutuhan elit desa yang dibangun maka potensi korupsi untu akan lebih tinggi.

"Tinggal bagaimana memaksimalkan proses penganggaran itu sendiri. Beberapa desa kami lihat harus lebih aktif dalam pengolaan APBDesnya, sehingga inovasi yang baik itu akan berdampak pada efektifnya program," imbuhnya.

Berdasarkan hasil pemantauan Indonesia Corruption Watch (ICW) sejak 2015 hingga Semester I 2018, kasus korupsi dana desa mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Tercatat ada 181 kasus korupsi dana desa dengan 184 tersangka korupsi dan nilai kerugian sebesar Rp 40,6 miliar.

Wakil Presiden RI Jusuf Kalla menilai, jumlah kasus korupsi tersebut terbilang sangat kecil. Sebab, jumlah yang mendapatkan dana desa yakni sebanyak 75 ribu desa sehingga tidak sebanding dengan angka korupsi tersebut.

"Jumlah 181 itu sangat kecil, bagus itu, berapa desa yang dikasi dana? 75 ribu, artinya yang menyeleweng atau korup hanya dua per mil," ujar Jusuf Kalla di Istana Wakil Presiden, Jumat (23/11).

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement